Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang melatih Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya ialah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga bila Tuan Guru bakal mengucapkan ucapan-ucapan yang demikian.

Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang siswa Tuan sendiri, siswa Tuan Guru dulu, dan pun sekarang. Bahkan, bakal tetap menjadi siswa Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami telah tetap, tiada bisa ditawar dan diolah lagi, bahwa kami bakal turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru untuk Tuan," katanya. Karena telah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa melakukan lain di samping menerimanya sebagai santri.
Lucunya, saat turun dari masjid usai shalat berjamaah, dua-duanya cepat-cepat mengarah ke tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena berkeinginan memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya dapat saja terjadi seorang murid kesudahannya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu tidak sedikit terjadi. Namun yang diperlihatkan Kiai Hasyim pun Kiai Cholil; ialah kemuliaan akhlak. Keduanya mengindikasikan kerendahan hati dan saling menghormati, dua urusan yang kini semakin susah ditemukan pada semua murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil ialah kiai yang paling termasyhur pada jamannya. Hampir seluruh pendiri NU dan tokoh-tokoh urgen NU generasi mula pernah berguru untuk pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh paling kuat untuk kalangan ulama, tapi pun lantaran elevasi ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini familiar mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' melangsungkan kajian hadits Bukhari dan Muslim sekitar sebulan suntuk. Kajian tersebut mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari sekian banyak daerah di Indonesia, tergolong mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu untuk Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit salah satu santri Kiai Hasyim lantas tampil sebagai figur dan ulama kondang dan dominan luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq ialah beberapa ulama familiar yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng adalahpesantren sangat besar dan sangat penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis kitab 'Tradisi Pesantren', menulis bahwa pesantren Tebuireng ialah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di semua Jawa dan Madura. Tak heran bila semua pengikutnya lantas memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) untuk Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian powerful itu, eksistensi Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berjuang untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, namun ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat menciptakan Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda ialah jihad (perang suci). Belanda lantas sangat kerepotan, sebab perlawanan gigih melawan penjajah hadir di mana-mana.
Kedua, Kiai Hasyim pun pernah mengharamkan naik haji menggunakan kapal Belanda.
Fatwa itu ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena tidak sedikit ummat Islam yang sudah mendaftarkan diri lantas mengurungkan niatnya.
Namun sempat pun Kiai Hasyim menyantap penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas dalil Jepang menciduk Kiai Hasyim. Mungkin, sebab sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya untuk gurunya, ada sejumlah santri mohon ikut dipenjarakan bareng kiainya itu.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru untuk Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim pun menimba ilmu untuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar tersebut pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebetulnya tunggal guru.
Yang butuh ditekankan, ketika Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah benak Abduh tersebut sangat memprovokasi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana sudah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang disarankan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah unik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim pasti saja. Ide reformasi Abduh itu merupakan
kesatu menyuruh ummat Islam guna memurnikan pulang Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebetulnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi edukasi Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali ajaran Islam guna disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan
keempat, menjaga Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam guna memenuhi keperluan kehidupan canggih kesatu dimaksudkan supaya supaya Islam bisa memainkan pulang tanggung jawab yang lebih banyak dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan dalil inilah Abduh melancarkan ide supaya ummat Islam mencungkil diri dari keterikatan mereka untuk pola pikiran semua mazhab dan supaya ummat Islam meninggalkan segala format praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung sejumlah pemikiran Abduh, walaupun ia bertolak belakang dalam sejumlah hal. Beberapa santri Syekh Khatib saat kembali ke Indonesia terdapat yang mengembangkan ide-ide Abduh itu.
Di antaranya ialah KH Ahmad Dahlan yang lantas mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya pun menerima ide-ide Abduh guna menyemangatkan pulang Islam, namun ia menampik pikiran Abduh supaya ummat Islam mencungkil diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa ialah tidak barangkali untuk mengetahui maksud yang sebetulnya dari ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat semua ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk mengartikan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan menganalisis buku-buku semua ulama mazhab melulu akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam urusan tarekat, Hasyim tidak memandang bahwa semua format praktek keagamaan waktu tersebut salah dan berlawanan dengan doktrin Islam. Hanya, ia berpesan supaya ummat Islam berhati-hati bila menginjak kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara kelompok bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kumpulan tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, tidak jarang disebut kumpulan modernis) tersebut memang sering tidak terelakkan. Puncaknya ialah saat Konggres Al Islam IV yang diadakan di Bandung. Konggres itu diselenggarakan dalam rangka menggali masukan dari sekian banyak kelompok ummat Islam, guna dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi kelompok tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab supaya tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai semua sahabat) kumpulan ini lantas membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas mengucapkan aspirasi kumpulan tradisional untuk penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite berikut yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang dengan kata lain kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kumpulan tradisional makin kuat. Terbukti, pada l937 ketika sejumlah ormas Islam menyusun badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang familiar dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia pun pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah terdapat di Indonesia. Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim ialah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun family Hasyim ialah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah unsur utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang sedang di sebelah unsur selatan Jombang. Dua orang berikut yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh untuk Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kepintaran Hasyim memang telah nampak. Di antara rekan sepermainannya, ia sering tampil sebagai pemimpin. Dalam umur 13 tahun, ia sudah menolong ayahnya melatih santri-santri yang lebih banyak ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan sekian banyak ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang dirawat Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar mengejar sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat untuk pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim tidak hanya mendapat ilmu, melainkan pun istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, di antara puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama sesudah menikah, Hasyim bareng istrinya berangkat ke Mekkah guna membayar ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim pulang ke tanah air, setelah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah sekitar 7 tahun. Tahun 1899 kembali ke Tanah Air, Hasyim melatih di pesanten kepunyaan kakeknya, Kiai Usman. Tak lama lantas ia menegakkan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim tidak hanya kiai ternama, melainkan pun seorang petani dan saudagar yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, seringkali Kiai Hasyim tidur tidak mengajar.
Saat itulah ia mengecek sawah-sawahnya. Kadang pun pergi Surabaya berniaga kuda, besi dan memasarkan hasil pertaniannya. Dari bertani dan berniaga itulah, Kiai Hasyim menghidupi family dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengusungnya sebagai Pahlawan Nasional.
Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di lokasi mulia di sisi-Nya. Amin.
DAHLAN ASY'ARY
Wahai saudaraku Muhammadiyah-NU.... Ketahuilah. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari ialah sama-sama keturunan Sunan Giri (Syekh Maulana ‘Ainul Yaqin), yang bilamana ditarik garis ke atas, nasabnya sampai untuk Rasulullah Saw. Ketika dua-duanya lahir, oleh orang tua mereka setiap diberi nama depan yang sama, yakni Muhammad. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan ialah Muhammad Darwis, sementara nama kecil KH. Hasyim Asy’ari ialah Muhammad Hasyim. Keduanya pernah berguru untuk ulama besar yang sama, yaitu untuk KH. Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Mahfud al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama puluhan tahun mereka tidak jarang kali bersama, hidup dalam pusaran lautan ilmu yang luas, dituntun bersama, mengenyam ilmu bersama, hidup dalam jalinan kasih sayang yang tulus sebab Gusti Allah semata. Tak pernah terdapat dalam cerita atau sejarah mereka berdua bertengkar, sama sekali tidak pernah. Subhanallah...
KH. Ahmad Dahlan menegakkan Muhammadiyah yang berlambang matahari, KH. Hasyim Asy’ari menegakkan Nahdhatul Ulama (NU) yang berlambang bumi dan bintang. Muhammadiyah tidak sedikit dijiwai oleh motivasi QS. Ali Imran ayat 104, sementara NU, QS. Ali Imran ayat 103. Dan, K.H. Hasyim Asy’ari menegakkan NU tidak lama sesudah K.H. Ahmad Dahlan wafat. Apakah ini pun sekadar kebetulan?
UBUDIYAH KH.AHMAD DAHLAN=KH.HASYIM ASY'ARY
KH Ahmad Dahlan sebelum membayar ibadah haji ke tanah suci mempunyai nama ‘’Muhammad Darwis’’. Seusai membayar ibadah haji, beliau diganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum membayar ibadah haji, dan belajar menelaah ilmu agama. KH Ahmad Dahlan sudah belajar agama untuk Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat ialah ulama’ besar yang sudah bertahun-tahun ngaji dan melatih di Masjidilharam. Di Pondok pesantren kepunyaan KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat melatih santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta pelbagai ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya sama-sama menelaah ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat.
Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, dua-duanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat selama 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya menelaah ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, sang Guru telah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah menyerahkan referensi ulama-ulama mana yang mesti ditemui dan diserap ilmunya sekitar di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu tersebut berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, menyimak barzanzi (diba’) menjadi unsur dari kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir seluruh karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi mengisahkan tentang madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, tersebut pula yang di ajarkan untuk murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad).
Seusai kembali dari Makkah, setiap mengamalkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah diolah namanya menjadi Ahmad Dahlan menegakkan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary menegakkan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun semenjak menjadi santri Syekh Sholih Darat sampai menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya pun membuktikan, bila dirinya tidak terdapat perbedaan di dalam hal akidah, dan madhabnya. Saat tersebut di Makkah memang beberapa besar bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, andai praktek ibadah keseharian KH Ahmad Dahlan serupa dengan guru-gurunya di tanah suci
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang siswa Tuan sendiri, siswa Tuan Guru dulu, dan pun sekarang. Bahkan, bakal tetap menjadi siswa Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami telah tetap, tiada bisa ditawar dan diolah lagi, bahwa kami bakal turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru untuk Tuan," katanya. Karena telah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa melakukan lain di samping menerimanya sebagai santri.
Lucunya, saat turun dari masjid usai shalat berjamaah, dua-duanya cepat-cepat mengarah ke tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena berkeinginan memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya dapat saja terjadi seorang murid kesudahannya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu tidak sedikit terjadi. Namun yang diperlihatkan Kiai Hasyim pun Kiai Cholil; ialah kemuliaan akhlak. Keduanya mengindikasikan kerendahan hati dan saling menghormati, dua urusan yang kini semakin susah ditemukan pada semua murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil ialah kiai yang paling termasyhur pada jamannya. Hampir seluruh pendiri NU dan tokoh-tokoh urgen NU generasi mula pernah berguru untuk pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh paling kuat untuk kalangan ulama, tapi pun lantaran elevasi ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini familiar mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' melangsungkan kajian hadits Bukhari dan Muslim sekitar sebulan suntuk. Kajian tersebut mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari sekian banyak daerah di Indonesia, tergolong mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu untuk Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit salah satu santri Kiai Hasyim lantas tampil sebagai figur dan ulama kondang dan dominan luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq ialah beberapa ulama familiar yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng adalahpesantren sangat besar dan sangat penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis kitab 'Tradisi Pesantren', menulis bahwa pesantren Tebuireng ialah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di semua Jawa dan Madura. Tak heran bila semua pengikutnya lantas memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) untuk Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian powerful itu, eksistensi Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berjuang untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, namun ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat menciptakan Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda ialah jihad (perang suci). Belanda lantas sangat kerepotan, sebab perlawanan gigih melawan penjajah hadir di mana-mana.
Kedua, Kiai Hasyim pun pernah mengharamkan naik haji menggunakan kapal Belanda.
Fatwa itu ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena tidak sedikit ummat Islam yang sudah mendaftarkan diri lantas mengurungkan niatnya.
Namun sempat pun Kiai Hasyim menyantap penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas dalil Jepang menciduk Kiai Hasyim. Mungkin, sebab sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya untuk gurunya, ada sejumlah santri mohon ikut dipenjarakan bareng kiainya itu.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru untuk Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim pun menimba ilmu untuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar tersebut pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebetulnya tunggal guru.
Yang butuh ditekankan, ketika Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah benak Abduh tersebut sangat memprovokasi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana sudah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang disarankan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah unik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim pasti saja. Ide reformasi Abduh itu merupakan
kesatu menyuruh ummat Islam guna memurnikan pulang Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebetulnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi edukasi Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali ajaran Islam guna disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan
keempat, menjaga Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam guna memenuhi keperluan kehidupan canggih kesatu dimaksudkan supaya supaya Islam bisa memainkan pulang tanggung jawab yang lebih banyak dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan dalil inilah Abduh melancarkan ide supaya ummat Islam mencungkil diri dari keterikatan mereka untuk pola pikiran semua mazhab dan supaya ummat Islam meninggalkan segala format praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung sejumlah pemikiran Abduh, walaupun ia bertolak belakang dalam sejumlah hal. Beberapa santri Syekh Khatib saat kembali ke Indonesia terdapat yang mengembangkan ide-ide Abduh itu.
Di antaranya ialah KH Ahmad Dahlan yang lantas mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya pun menerima ide-ide Abduh guna menyemangatkan pulang Islam, namun ia menampik pikiran Abduh supaya ummat Islam mencungkil diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa ialah tidak barangkali untuk mengetahui maksud yang sebetulnya dari ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat semua ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk mengartikan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan menganalisis buku-buku semua ulama mazhab melulu akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam urusan tarekat, Hasyim tidak memandang bahwa semua format praktek keagamaan waktu tersebut salah dan berlawanan dengan doktrin Islam. Hanya, ia berpesan supaya ummat Islam berhati-hati bila menginjak kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara kelompok bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kumpulan tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, tidak jarang disebut kumpulan modernis) tersebut memang sering tidak terelakkan. Puncaknya ialah saat Konggres Al Islam IV yang diadakan di Bandung. Konggres itu diselenggarakan dalam rangka menggali masukan dari sekian banyak kelompok ummat Islam, guna dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi kelompok tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab supaya tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai semua sahabat) kumpulan ini lantas membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas mengucapkan aspirasi kumpulan tradisional untuk penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite berikut yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang dengan kata lain kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kumpulan tradisional makin kuat. Terbukti, pada l937 ketika sejumlah ormas Islam menyusun badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang familiar dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia pun pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah terdapat di Indonesia. Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim ialah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun family Hasyim ialah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah unsur utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang sedang di sebelah unsur selatan Jombang. Dua orang berikut yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh untuk Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kepintaran Hasyim memang telah nampak. Di antara rekan sepermainannya, ia sering tampil sebagai pemimpin. Dalam umur 13 tahun, ia sudah menolong ayahnya melatih santri-santri yang lebih banyak ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan sekian banyak ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang dirawat Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar mengejar sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat untuk pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim tidak hanya mendapat ilmu, melainkan pun istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, di antara puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama sesudah menikah, Hasyim bareng istrinya berangkat ke Mekkah guna membayar ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim pulang ke tanah air, setelah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah sekitar 7 tahun. Tahun 1899 kembali ke Tanah Air, Hasyim melatih di pesanten kepunyaan kakeknya, Kiai Usman. Tak lama lantas ia menegakkan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim tidak hanya kiai ternama, melainkan pun seorang petani dan saudagar yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, seringkali Kiai Hasyim tidur tidak mengajar.
Saat itulah ia mengecek sawah-sawahnya. Kadang pun pergi Surabaya berniaga kuda, besi dan memasarkan hasil pertaniannya. Dari bertani dan berniaga itulah, Kiai Hasyim menghidupi family dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengusungnya sebagai Pahlawan Nasional.
Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di lokasi mulia di sisi-Nya. Amin.
DAHLAN ASY'ARY
Wahai saudaraku Muhammadiyah-NU.... Ketahuilah. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari ialah sama-sama keturunan Sunan Giri (Syekh Maulana ‘Ainul Yaqin), yang bilamana ditarik garis ke atas, nasabnya sampai untuk Rasulullah Saw. Ketika dua-duanya lahir, oleh orang tua mereka setiap diberi nama depan yang sama, yakni Muhammad. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan ialah Muhammad Darwis, sementara nama kecil KH. Hasyim Asy’ari ialah Muhammad Hasyim. Keduanya pernah berguru untuk ulama besar yang sama, yaitu untuk KH. Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Mahfud al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama puluhan tahun mereka tidak jarang kali bersama, hidup dalam pusaran lautan ilmu yang luas, dituntun bersama, mengenyam ilmu bersama, hidup dalam jalinan kasih sayang yang tulus sebab Gusti Allah semata. Tak pernah terdapat dalam cerita atau sejarah mereka berdua bertengkar, sama sekali tidak pernah. Subhanallah...
KH. Ahmad Dahlan menegakkan Muhammadiyah yang berlambang matahari, KH. Hasyim Asy’ari menegakkan Nahdhatul Ulama (NU) yang berlambang bumi dan bintang. Muhammadiyah tidak sedikit dijiwai oleh motivasi QS. Ali Imran ayat 104, sementara NU, QS. Ali Imran ayat 103. Dan, K.H. Hasyim Asy’ari menegakkan NU tidak lama sesudah K.H. Ahmad Dahlan wafat. Apakah ini pun sekadar kebetulan?
UBUDIYAH KH.AHMAD DAHLAN=KH.HASYIM ASY'ARY
KH Ahmad Dahlan sebelum membayar ibadah haji ke tanah suci mempunyai nama ‘’Muhammad Darwis’’. Seusai membayar ibadah haji, beliau diganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum membayar ibadah haji, dan belajar menelaah ilmu agama. KH Ahmad Dahlan sudah belajar agama untuk Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat ialah ulama’ besar yang sudah bertahun-tahun ngaji dan melatih di Masjidilharam. Di Pondok pesantren kepunyaan KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat melatih santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta pelbagai ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya sama-sama menelaah ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat.
Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, dua-duanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat selama 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya menelaah ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, sang Guru telah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah menyerahkan referensi ulama-ulama mana yang mesti ditemui dan diserap ilmunya sekitar di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu tersebut berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, menyimak barzanzi (diba’) menjadi unsur dari kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir seluruh karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi mengisahkan tentang madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, tersebut pula yang di ajarkan untuk murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad).
Seusai kembali dari Makkah, setiap mengamalkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah diolah namanya menjadi Ahmad Dahlan menegakkan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary menegakkan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun semenjak menjadi santri Syekh Sholih Darat sampai menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya pun membuktikan, bila dirinya tidak terdapat perbedaan di dalam hal akidah, dan madhabnya. Saat tersebut di Makkah memang beberapa besar bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, andai praktek ibadah keseharian KH Ahmad Dahlan serupa dengan guru-gurunya di tanah suci