MENGUPAS SERAT DARMOGANDUL YANG KONTROVERSIAL

Serat Darmagandul merupakan buku yang lumayan dikenal dalam kesusasteraan Jawa. Tidak tidak banyak yang menggunakannya sebagai bahan studi sejarah, terutama berhubungan keruntuhan Majapahit. Serat Darmogandul adalahserat yang berisi kisah tentang dialog antara tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di Indonesia.


Dalam serat ini pula didapatkan kisah berubahnya kepercayaan Prabu Brawijaya dari agama Buddha berpindah ke agama Islam. Akan tetapi sebab serat Darmogandul dinilai tidak sedikit pihak sebagai naskah yang bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat itu dilarang beredar. Tapi sekarang kita dapat menemukan serat Darmogandul di tidak sedikit blog baik dalam naskah berbahasa jawa, maupun terjemahannya. Bagi terjemahan Darmogandul dapat dilihat di indo forum atau disini.

Serat Darmagandul merupakan buku kontroversial yang memungut ide kisah dari Serat Babad Kadhiri. Meskipun adalahhasil plagiasi dari Babad Kadhiri, tetapi Serat Darmagandul tampaknya ditulis menurut motif tertentu yakni keberpihakan pengarangnya terhadap pemerintah kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap eksistensi misi Kristen di tanah Jawa. Unsur Kristen dalam Serat ini boleh disebutkan dominan dengan memakai simbolisasi wit katvruh dan sekian banyak  cerita yang berasal dari Bibel.

Serat Babad Kadhiri ditulis menurut perintah Belanda. Sedangkan serat Darmagandul mengindikasikan wujud apresiasi yang baik terhadap Belanda, bukan dalam pandangan sebagai musuh atau penjajah namun malah sebagai kawan. Mengingat penulis Darmagandul tidak jelas identitasnya, maka keserupaannya dengan Babad Kadhiri ini jelas memunculkan sebuah pertanyaan besar. Dapat diperkirakan bahwa Babad Kadhiri yang ditulis atas perintah dari Belanda, lantas dimanfaatkan untuk menciptakan Serat Darmagandul dengan destinasi memarginalkan doktrin Islam dan sekaligus memanipulasi sejarah Islam. (ref)

Secara umum kitab Darmagandul tidak sedikit memiliki kekeliruan data dalam mengungkapkan kenyataan sejarah. Oleh karena tersebut sulit dijamin bahwa kitab tersebut benar-benar ditulis pada masa pergantian antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat malah menekankan bahwa kitab tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh sebab itu kisah sejarah dalam serat itu boleh dilalaikan dari kedudukannya sebagai suatu fakta. (ref)

Buku Darmagandul adalahtulisan yang beberapa besar menceritakan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh dampak serangan dari Adipati Demak yang mempunyai nama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih adalahputra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut kitab Darmagandul, semua ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, mempengaruhi Raden Patah supaya merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, sebab memeluk agama Budha.

Bujukan semua wali berhasil, sampai-sampai pada kesudahannya Majapahit bisa dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya sukses meloloskan diri. Buku darmagandul pun mengupas mengenai ‘budi buruk’ semua ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kemerdekaan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, tetapi pada ketika Islam sudah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini diperlihatkan dengan ekspresi pengarang Darmagandul saat mengartikan wali ialah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebajikan namun menjawab dengan keburukan. (ref)

Darmogandul. Di telinga orang ~Jawa pun urusan tersebut terdengar lucu. Tapi kitab ini, Serat Darmogandul, memang dimaksud sebagai cibiran yang lucu, yang dikaitkan dengan hal-hal porno. Judul kitab fiksi yang menceritakan masuknya Islam ke Jawa dan runtuhnya Kerajaan Majapahit ini pun menimbulkan cerminan yang tak jauh dari (maa~ kelamin pria. Pada 1920-an, Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam dan Cina saat kesatu kali dimuat dalam suatu almanak. Darmogandul, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk~ sekar atau puisi Jawa itu, memang mengejek orang Cina, orang Arab, dan menyerang Islam.

Siapa penulis Darmogandul, tak jelas. Pada terbitan Dahara Prize memang dilafalkan namanya: Ki Kalamwadi. Tapi ini nama samaran (kalam ialah pena, wadi berarti rahasia: “penulis yang merahasiakan namanya”). Pengarang yang sesungguhnya barangkali Raden Budi Sukardi, yang sejumlah kali dinamakan oleh Ki Kalamwadi (pencerita dalam kitab itu) sebagai “guru yang bisa dipercaya”. Beberapa berpengalaman juga tak sukses menemukan nama dan identitas pengarangnya.

Berdasarkan keterangan dari M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco mengenai Islam, pengarangnya ialah Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Jawa familiar dari Keraton Surakarta. Berdasarkan keterangan dari Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogya, kitab itu ditulis pada zaman Kerajaan Surakarta antara tahun 1755 dan 1881. Tapi doktor yang disertasinya tentang karya Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati tersebut tidak tahu serupa siapa penulisnya.

Dalam pada itu, menurut keterangan dari Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang, kitab itu karangan seorang bangsawan tinggi di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis selama 1873.

Sementara itu, menurut keterangan dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan Kebatinan, penulis Darmogandul ialah Pangeran Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri Agama RI yang kesatu tersebut ~ yakin bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan Belanda, terbukti dari adanya sejumlah kata Belanda laksana kelah (klacht) dan puisi.

Sebelum Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954 (sekitar tiga puluh tahun sesudah heboh), penerbit buku-buku Jawa di Kediri yang ketika tersebut sangat terkenal, Tan Koen Swie, telah menerbitkannya sebagai cetakan kedua. Sampai kini, kitab itu melulu dikenal kalangan terbatas: generasi tua dan semua ilmuwan yang eksklusif mempelajari literatur Jawa yang sehubungan dengan paham kebatinan.

Darmogandul memang pernah jadi di antara acuan semua penganut kepercayaan. Tapi, menurut keterangan dari tokoh kejawen almarhum Mr. Wongsonagoro, Darmogandul lantas tidak menjadi pedoman semua penghayat Kepercayaan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Isi Darmogandul sebenarnya tentang penyebaran Islam di Jawa (dari area pesisir utara) dan runtuhnya Kerajaan Majapahit (di pedalaman), yang dituturkan secara fiktif.

Paham keagamaan di dalamnya merupakan gambaran perbenturan nilai sesudah datangnya agama baru, pun antara kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan terpencil yang masih Budha-Hindu. Orang Jawa, saat itu, melulu menerima nilai-nilai Islam yang rada-rada sesuai dengan paham lama kemudian mencampur-adukkannya — yang belakangan mencetuskan paham keyakinan yang sinkretis.

Yang mengundang keresahan masyarakat Islam merupakan penyajian benak pikiran mengenai seks dalam kitab itu, yang digunakan sebagai usaha untuk menempatkan “penafsiran” materi doktrin Islam pada status pornografis — yang tidak lepas dari kerangka pertentangan politik dan kebiasaan antara kedua kerajaan itu, antara “Jawa” dan “Islam”.

Semangat anti-Islam muncul dampak trauma keruntuhan Majapahit yang diserang oleh Raden Patah, putra raja Majapahit Brawijaya V sendiri yang sebelumnya diusung sebagai adi~pati di Demak. Raden Patah dinilai sebagai anak~ durhaka, lagipula ia sebetulnya bukan “Jawa asli” tapi bermunculan dari rahim~ ibundanya yang~ berdarah Cina (tepatnya: Campa,Kamboja). Sampai kini “kambing hitam” keruntuhan Majapahit ialah Raden Patah.

Padahal, menurut keterangan dari Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya dalam Serat Centhini Dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid I-A, bahwasannya Raden Patah hanyalah merebut dominasi Girindrawardhana, yang sebelumnya sudah lebih dahulu memporak-porandakan Majapahit dari dalam. Darmogandul pun melukiskan, walau Brawijaya V kesudahannya dibaiat sebagai muslim oleh Sunan Kalijaga “secara bermunculan batin”, tidak sedikit rakyat dipaksa masuk Islam. Ini tentu evaluasi sepihak, sebab semua wali di Jawa sekitar ini dikenal sebagai penyebar Islam yang akulturatif.

Seperti dicerminkan oleh Dojosantosa dalam kitab Unsur Religius dalam Sastra Jawa, walau agama Budha dan Hindu telah berakar berabad-abad, orang Jawa menerima Islam “dengan senang hati guna memperkaya peradaban”. Gara-gara protes masyarakat Islam, menurut keterangan dari Anung Tejo Wirawan, ‘dosen sastra Jawa UGM yang menganalisis Darmogandul, kitab yang kontroversial ini sejumlah kali disunat oleh penerbitnya.

Pada terbitan Dahara Prize kali ini, misalnya, pendapat bahwa “babi dan anjing lebih baik dari domba curian” telah dihapus. Begitu pula teknik penghinaan dengan gaya jarwodosok terhadap Quran. Jarwodosok atau plesedan ialah gaya bahasa dalam penulisan sastra maupun dalam bahasa lisan semua pelawak Jawa, dengan menggali persamaan bunyi yang ingin lucu dan porno.

Dalam Darmogandul (edisi lama), misalnya, dinamakan syari’at atau sarengat ditafsirkan “kalau sare (tidur) anunya njengat (ereksi)”. Beberapa kata dalam surah al-Baqarah pun dipeleset-pelesetkan. Misalnya, huda dalam huda lilmuttaqien ditafsirkan wuda alias telanjang. Dan tidak sedikit lagi. Dalam penelitian tersebut Anung menemukan, melulu 10% isi kitab itu yang menghina Islam atau porno. (ref)

Sementara itu, menurut keterangan dari dosen sastra Jawa UGM yang lain, Dr. Kuntara Wiryamartana, Darmogandul bukanlah sastra Jawa yang punya arus yang kuat. Karena itu, sejumlah ilmuwan, tergolong Simuh, tidak cukup setuju kitab itu dilarang beredar. “Kalaupun diedarkan secara luas, penerbit hendaknya menyerahkan pengantar dan catatan, sampai-sampai pembaca memahami duduk soalnya,” katanya Namun, untuk A.R. Fachruddin, ketua PP Muhammadiyah, betapapun yang 10% tersebut tetap berarti penghinaan. Mengapa Dahara Prize berani menerbitkannya? “Karena masyarakat kita telah maju, dan saya yakin umat Islam tidak tersinggung menyimak Darmogandul, yang melulu merupakan khayalan pengarang itu,” ujar Deradjat Harahap, direktur Dahara Prize. Dalam kata pengantar kitab itu, pembaca memang diimbau oleh penerjemah (yang tidak melafalkan namanya) supaya kritis, sampai-sampai “tidak mudah terpengaruh oleh isi kitab ini”.

Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, pun pernah mencatat dan menerjemahkan Darmogandul yang tidak sedikit memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam di antara bait Pangkur-nya serat ini mencatat “Akan namun bangsa Islam, andai diperlakukan dengan baik, mereka menjawab jahat. Ini ialah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyinggung nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka tersebut terasa pahit dan masin.”

Ada lagi ungkapan dalam serat ini “Adapun orang yang menyinggung nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya mengerjakan zikir salah. Muhammad dengan kata lain Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, dengan kata lain rasa yang salah. Oleh karena tersebut ia tersebut orang gila, pagi senja berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala diletakkan di tanah berkali-kali.”

“Semua makanan dicela, umpamanya masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”

“Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), seluruh itu disebutkan haram. Lebih-lebih andai mereka menyaksikan anjing, mereka pura-pura dirinya terlampau bersih. “

“Saya mengira, urusan yang mengakibatkan santri paling benci untuk anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, ialah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di masa-masa malam. Baginya ini ialah halal walaupun dengan tidak gunakan nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau santap dagingnya.”

“Kalau bersetubuh dengan insan tetapi tidak dengan pengabsahan hakim, tindakannya disebut makruh. Tetapi bila partnernya seekor anjing, tentu ucapan najis tersebut tidak terdapat lagi. Sebab kemanakah untuk mengabsahkan perkawinan dengan anjing?”(ref)

Mencermati bahwa Babad Kadhiri adalahproduk dari proyek penjajah, maka tidak menutup bisa jadi bahwa Serat Darmagandul ialah kelanjutan tahapan Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada selama 1900-an politik Belanda tidak sedikit diarahkan guna mengantisipasi kekuatan Islam yang dirasakan berbahaya untuk pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilaksanakan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang dinamakan sebagai “kaum adat” (Benda, 1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sebatas bermotif ekonomi, sejumlah kasus mengindikasikan bahwa imperialisme Belanda ialah manifestasi idealisme yang mempunyai sifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).(ref)

Antara tujuan Kristen dengan penjajahan Belanda memang satu paket. Dan untuk mengerjakan pelemahan terhadap Islam yang saat tersebut begitu gigih mengerjakan perlawanan terhadap kolonialisme, menghasut dengan menciptakan cerita-cerita negatif dan melecehkan ialah salah satu teknik yang mereka gunakan. Tak tertutup kemungkinan, mereka mengerjakan politik pecah belah, memukul dengan memakai tangan kumpulan kebatinan, yang memang telah dari dulu menyimpan ‘dendam’ dengan umat Islam dampak jatuhnya Mojopahit ke tangan kerajaan Demak…. entahlah.