GROJOGAN SEWU,SABDO PALON,RANGGA SETA DAN SATRIA PININGIT,DALAM RANGKAIAN TABIR

Untuk menyingkap tabir siapa gerangan Ratu Adil atau Budak Angon dan Pemuda Berjanggut maka kita harus terlebih dahulu mengetahui sosok Sabdo Palon. Namun sebelumnya, sebelum kita mengupas lebih lanjut tentang Sabdo Palon maka terlebih dahulu membahas Grojogan Sewu, karena ini ada korelasinya.

Grojogan Sewu yang selama ini kita kenal sebagai air terjun yang indah di daerah Tawangmangu, Karanganyar, ternyata muasal namanya berasal dari seorang nama seseorang yang bergelar Grojogan Sewu. Karena konon, di air terjun yang indah inilah tokoh Grojogan Sewu melakukan laku tapa bratanya untuk mencapai ngelmu kasampurnan.

Dalam kisahnya, tokoh Grojogan Sewu ini adalah seorang sais dokar yang pasa suatu ketika bekenalan dengan seorang pengembara bernama Rangga Seta yang menjadi penumpangnya. Grojogan Sewu ini gumun (penasaran) dengan gaya pakaian Rangga Seta kala itu yang mengenakan jubah dan sorban, berbeda dengan pakaian orang Jawa kala itu. Hingga Grojogan Sewu memberanikan diri untuk bertanya sang pengembara tersebut. Kemudian Grojogan Sewu menanyakan darimana Rangga Seta berasal. Rangga Seta tidak menjawab dari mana ia berasal tetapi menjawab pertanyaan tersebut dengan "Saya saudara kisanak, karena semua manusia bersaudara karena anak keturunan Adam".

Mendengar jawaban tersebut, Grojogan Sewu tersentuh karena orang yang baru dikenalnya menganggap saudara. Karena belum tahu Adam, maka kemudian Grojogan Sewu bertanya lebih lanjut. “Siapakah Adam itu kisanak?”
“Adam adalah nenek moyang saya, sampeyan dan semua manusia, kisanak?”
Mendengar jawaban tersebut, Grojogan Sewu semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dan meminta Rangga Seta untuk bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya.

Sebelum menyanggupi permintaan Grojogan Sewu, Rangga Seta balik bertanya. “Mengapa andika ingin belajar”
“Karena saya ingin cerdas seperti panjenengan” jawab Grojogan Sewu.

Melihat niat dan kesungguhan Grojogan Sewu untuk belajar, maka rangga Seta pun kemudian mengajarkan banyak ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Proses belajar pun kemudian di mulai dengan materi Aji Kalimasada. Singkat cerita, karena memang bakat kecerdasan dan niat yang bersungguh-sungguh maka proses belajar Grojogan Sewu pun berjalan dengan cepat.

Pada saat pelajaran ujian terakhir Grojogan Sewu di perintahkan untuk semedi di suatu tempat yang kemudian kita kenal kini sebagai air terjun Grojogan Sewu. Konon, dibalik air terjun tersebut ada sebuah goa, di goa inilah tempat Grojogan Sewu menjalani laku tapa brata yang diperintahkan oleh Rangga Seta.

Perintah laku semedi atau tapa brata ini sekaligus perpisahan Grojoga Sewu dengan Rangga Seta, gurunya. Namun, sebelum mereka berpisah Rangga Seta sempat berpesan pada Grojogan Sewu bahwa suatu saat akan mereka akan bertemu kembali dan berharap Grojogan Sewu bisa menjadi manusia yang bermanfaat dan bisa menegakkan keadilan.

Prosen pencarian lokasi tapa brata yang dilakukan Grojogan Sewu ini sama halnya dengan Kian Santang ketika diperintahkan Sayidina Ali untuk mencari sebuah bukit di daerah Godog, Garut, saat ini. Setelah laku tapa brata Grojogan Sewu selesai, maka paripurna ah Aji Kalimasada-nya. Konon selain berguru kepada Rangga Seta, Grojogan Sewu juga belajar kepada Semar Badranaya. Dari Semar Badranaya inilah konon Grojogan Sewu diwarisi pusakan Cemeti Amarasuli yang bentuknya seperti gagang tongkat kurang lebih panjangnya 30 cm. Dikisahkan, jika senjata ini di gunakan maka akan terlihat cahaya atau menyala seperti pedang maupun cemeti.

Lantas, siapakah Grojogan Sewu ini? Grojogan Sewu adalah pembimbing raja-raja Jawa dan para wali. Karena Grojogan Sewu diberikan semacam wewenang/mandat dari Semar Badranaya untuk mengajarkan ngelmu hikmah dan ngelmu kasampurnan kepada para raja-raja dan para wali di Nusantara bahkan sampai masa sekarang ini. 

Pertanyaannya, siapakah yang pernah belajar kepada Grojogan Sewu ini? Hampir semua raja-raja Jawa di bimbing olehnya, dan salah satunya adalah Raja Brawijaya yang moksa di puncak Gunung Lawu dan Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Dari sinilah ada benang merah mengapa kisah Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi seperti pinang dibelah dua, ibarat kunci dengan gemboknya.

Nah, sekarang kita bahas tentang hubungan Grojogan Sewu dengan Sabdo Palon. Masih dalam penuturan Simbah yang sengaja tak saya sebutkan namanya di sini, bahwa Grojogan Sewu adalag Sabdo Palong atau Noyo Genggong itu sendiri. Berikut ini pengulasannya.

Grojogan Sewu sejatinya adalah sebuah gelar bagi seseorang yang mampu mengajarkan ilmu, mengucurkan ilmu laksana air yang mengucur. Grojogan Sewu adalah seorang yang mengucurkan ilmu atau orang berilmu (menguasai ajaran/mumpuni) sehingga dia mendapatkan mandat/wewenang untuk mendidik para raja Jawa maupun para wali.

Setiap ucapan Grojogan Sewu atau ketika ia mencurahkan ilmu pada muridnya, itulah yang disebut Sabdo. Sementara Palon itu sendiri adalah artinya filosofi (kata mengandung hikmah). Jadi ketika Grojogan Sewu memberikan pengajaran atau segala ucapan/sabdo yang mengandung hikmah yang amat dalam, para raja Jawa maupun para wali menjulukinya ucapan Grojogan Sewu ini dengan Sabdo Palon. Ucapan yang keluar dari Grojogan Sewu adalah Sabdo Palon (Sabda yang mengandung hikmah).

Nah sekarang berlanjut ke Noyo Genggong. Setiap Grojogan Sewu mengucapkan sabda-sabdanya di hadapan raja-raja Jawa tersebut dengan cara dilantunkan seperti tembang atau syair yang merdu, ada intonasinya dan di iringi oleh gerakan tubuh maupun tangannya (gaya mengajar). Jadi nuansa pengajarannya tersebut enak di dengar dan dilihat. Artinya, Noyo Genggong adalah gaya mengajarnya Grojogan Sewu ketika mengucapkan sabdanya seperti melantunkan tembang dan di iringi gerakan anggota tubuh tersebut.

Ringkasnya, Grojogan Sewu adalah orang yang menguasai dan memiliki ilmu serta berpandangan luas dan bijak. Grojogan Sewu adalah seseorang yang memiliki kunci sekaligus mampu mencurahkannya (merujuk pada seorang guru besar/syekh/tuan guru/ para hyang). Sabdo Palong adalah sebuah ucapan atau sabda yang penih hikmah dari seorang bernama Grojogan Sewu.

Noyo Genggong adalah sejatinya gaya mengajar Grojogan Sewu itu sendiri. Selain subtansi materi yang di sampaikan penuh hikmah (Sabdo Palon), cara penyampaianya pun enak di dengar dan mudah di pamahi karena dikemas seperti tembang dan diringi penguatan oleh gerakan-gerakan anggota tubuh. Sabdo Palon dan Noyo Genggong tak lain adalah Grojogan Sewu.

Grojogan Sewu mempunyai Senjata Cemeti Amarasuli seperti yang sedikit saya singgung di atas adalag dari Semar Badranaya. Selain itu, Grojogan Sewu juga memiliki Aji Kalimasada dari Rangga Seta. Disamping itu, Grojogan Sewu juga mengajarkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya untuk menjadi bekal sekaligus menjadi pembimbing raja Brawijaya dan prabu Siliwangi, yang keduanya sama-sama moksa atau meninggal dengan membawa raganya.

Grojogan Sewu adalah guru bagi keduanya, Brawijaya dan Siliwangi. Kedua raja inilah yang kemudian meninggalkan cerita atau kisah kepada generasi yang akan datang (akhir jaman), yang pesan dari kedua raja ini kurang lebih sama.

Sekarang kita beranjak untuk menelusuri jati diri Rangga Seta dan Semar Badranaya. Namun sebelum kita kita membincang lebih jauh tentang jati diri dua tokoh tersebut, saya akan ajak sampeyan untuk mengurai benang merah antara Uga Siliwangi, Sabdo Palong, Jangka Jayabaya, Imam Mahdi dan cerita akhir jaman seperti yang sudah saja janjikan di awal tulisan ini dengan pendekatan silsilah ilmu terlebih dan kata kunci dari semua ciri dari cerita-cerita tersebut.

Silsilah Ilmu dan Kata Kunci.

Rangga Seta adalah guru dari Syeh Grojogan Sewu. Grojogan Sewu adalah guru dari Brawijaya dan Siliwangi, yang keduanya moksa atau meninggal dengan membawa raganya.

Lalakon Raja Brawijaya meninggalkan cerita tentang Sabdo Palon. Cerita Sabdo Palon mengisahkan bahwa kelak ada seseorang (Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong) akan kembali mengasuh pemimpin Nusantara.

Lalakon Prabu Siliwangi meninggalkan cerita Uga Siliwangi atau Wangsit Siliwangi. Cerita Uga Wangsit Siliwangi adalah sebuah kisah yang menganjurkan untuk menemui Ki Santang karena kelak dari keturunan-keturunan yang pergi ke barat lah yang akan mengingatkan saudara-saudara sedaerah dan yang sependirian.

Lalakon Brawijaya mempunyai tokoh kunci yaitu Sabdo Palon Naya Genggong (Syech Grojogan Sewu). Lalakon Prabu Siliwangi mempunyai tokoh kunci Ki Santang. Tokoh kunci pertama adalah Syech Gojogan Sewu/Sabdo Palon Noyo Genggong yang belajar kepada Rangga Seta yang kemudian di perintahkan mencari goa di belakang air terjun untuk bersemedi, kelak air terjun tersebut bernama Grojogan Sewu.

Tokoh kunci kedua adalah Ki Santang (Kian Santang) yang belajar kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib yang kemdian di perintahkan untuk mencari tempat untuk berdzikir. Akhirnya Ki Santang menemukan Sebuah bukit di daerah Garut yang kemudian di beri nama bukit Godog Suci. Godog dalam hal ini bisa menjadi arti sebuah proses pematangan ilmu. Godog Ilmu/mengasah ilmu, sedangkan kata Suci dibelakang nama Godog tersebut sejatinya adalah sebuah  Nisbat kepada Nama Ki Santang sendiri (Syech Sunan Rohmat Suci Kian Santang).

Tokoh kunci pertama, yakni Grojogan Sewu merujuk ke Rangga Seta. Tokoh kedua, yakni Ki Santang merujuk ke Sayidina Ali bin Abi Thalib. Jika di Majapahit ada Syekh Grojogan Sewu. Maka di Pajajaran ada Syech Sunan Rohmat Suci Kian Santang. Rangga Seta belajar kepada Semar Badranaya. Sementara Sayidina Ali belajar kepada Nabi Khidir As atau Semar Badranaya. Ia selalu ada di setiap jaman sampai akhir jaman. Bahkan  sampai saat ini masih mengasuh dan membimbing dan ilmunya yang diturunkan atau di titiskan. Kalimat menitis dalam hal ini itu bukanlah sukma, akan tetapi yang menitis adalah ilmu kasampurnannya. Nabi Khidir As akan selalu ada di setiap jaman, mengasuh, membimbing sama seperti Semar Badranaya.

Dari penguaraian panjang dari kata kunci di atas, baik tentang kisah Sando Palon dan Uga Wangsit Siliwangi juga tentang pemimpin  Nusantara di akhir jaman adalah bentuk dari waskitanya raja Brawijaya dan Siliwangi. Kewasikitaan dari keduanya tersebut muasalnya dijarakan oleh Syehk Grojogan Sewu. Sedangkan Syekh Grojogan Sewu mendapatkan ilmu tersebut dari Rangga Seta yang muasalnya diajarkan oleh Semar Badranaya.

Cerita Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu naskah skenario dengan sumber yang sama walaupun dari tempat yang berbeda, Majapahit dan Pajajaran. Kedua kisah tersebut bagai gayung bersambut, seperti madu dengan manisnya, seperti kata pepatah "asam di gunung daram di laut akhirnya bertemu juga" yang berujung kepada dua tokoh Rangga Seta dan Semar Badranaya.

Rangga Seta tak lain adalah Syaidina Ali bin Abi Thalib, sedangkan Semar Badranaya adalah Nabi Khidir As. Rangga Seta yang mengajarkan kepada Syech Grojogan Sewu sejatinya adalah Syaidina Ali Bin Abi Thalib. Dalam Uga Siliwangi, mengapa Prabu Siliwangi memerintahkan para pengikutnya yang pergi ke Barat untuk menemui Ki Santang, padahal konon katanya hilangnya Prabu Siliwangi karena terdesak oleh Ki Santang. Kenapa di kejar-kejar oleh Ki Santang tapi malah memerintahkan para pengikutnya yang pergi ke barat untuk menemui Ki Santang? Tidak masuk akal toh?

Prabu Siliwangi memerintahkan kepada pengikutnya yang pergi kebarat untuk menemui Ki Santang seperti petikan uga berikut ini, "Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya"...

Prabu Siliwangi di bimbing oleh Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong dan Syech Grojogan Sewu di didik oleh Rangga Seta/Syaidina Ali. Ki Santang juga dididik oleh Syaidina Ali/Rangga seta di tanah Arab. Prabu Siliwangi dan Kian Santang satu silsilah ilmu, hanya bedanya Prabu Siliwangi belajar melalui Syech Grojogan Sewu sedangkan Kian Santang belajar langsung ke Syaidina Ali.

Maka sedikit masuk akal jika kemudian Prabu Siliwangi memerintahkan kepada pengikutnya yang pergi ke Barat untuk menemui Ki Santang. Kalau kata pepatah Sunda "Saguru Saelmu Ulah Nganganggu", terlebih keudannya adalah anak dan ayah. Tidak masuk akal jika mereka berseteru, padahal sudah se-ilmu, seguru, dan juga sekeluarga. Benarlah menurut Prabu Siliwangi dalam petikan Uga nya "Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar...."

Rangga Seta (Sayidina Ali) tujuh kali mengelilingi dunia karena hasrat belajarnya yang tinggi. Sahabat, misan sekaligus menantu dari Muhammad SAW ini merantau ke Nusantara karena beliaupun mengikuti jejak gurunya, Semar Badranaya. Di Nusantara ini selain mengajarkan ilmunya kepada Grojogan Sewu, Rangga Seta belajar tentang pengobatan herbal, karena di Nusantara kaya akan tumbuhan obat, sekaligus untuk melengkapi hasil belajar di China, yaitu metode totok.

Jika bertelekan pada asumsi di atas, jika kita dekatkan pada ramalan agung abad 21 yang mengatakan suatu saat nanti pengobatan akan kembali ke alam dan spiritual, maka hal ini agak matuk. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang membawa nubuwah tersebut?

Dialah Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang diasuh oleh Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong dan Ki Santang (Syech Sunan Rohmat Suci Kian Santang) dan di belakangnya di dampingi oleh Rangga Seta/Syaidina Ali bin Abi Thalib, sang pemilik kuda putih dan pedang. Juga di dampingi sang Guru Besar, yakni Semar Badranaya/Nabiyullah Khidir As (guru para Nabi). Budak Angon dan Pemuda Berjanggut adalah ujung dari semua kisah tentang akhir jaman di Nusantara ini. Dialah tokoh kembar di akhir jaman, laksana Nabi Musa dan Nabi Harun. Seperti yang kita juga tahu, Nabiyullah Khidir As adalah guru dari Musa dan Harun.

Selanjutkan kita bahas tentang hubungan Uga Wangsit Siliwangi dan Kisah Sabdo Palon lebih mendalam. Sebelumnya saya akan bahas lebih dulu tentang hakekat empat elemen atau unsur penting dari semua penciptaan, yakni unsur Api, Angin, Air, dan Tanah. Budak Angon dan Pemuda Berjanggut adalah mereka yang menguasai 4 unsur tersebut. Karena dengan menguasai hakekat empat unsur ini adalah mereka yang telah menemukan Sejati dirinya, dan akan menjadi Pancer.

Hakikatnya Api adalah Cahaya Merah, Angin adalah Cahaya Kuning, Air adalah Cahaya Putih, dan Tanah adalah Cahaya Hitam. Merah dalam hal ini hakekatnya Sayidina Abu Bakar, Kuning adalah Sayidina Umar, Putih adalah Sayidina Utsman, dan Hitam adalah Sayaidina Ali.

Panji-panji Hitam dari Timur yang sering kita dengar dari nubuat akhir jaman itu bukanlah bendera yang disablon seperti saat ini. sejatinya, panji Hitam tersebut adalah sebuah takwil dari suatu kaum yang belajar kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang di sebarkan oleh Budak Angon dan Pemuda Berjanggut. Karena hakikat warna Hitam adalah Sayidina Ali, Hitam juga hakikat Bumi. Budak Angon dan Pemuda Berjanggut adalah Pancer Bumi atau Khalifah fil Ardhi.

Itulah mengapa Uga Wangsit Siliwangi mengatakan temui Ki Santang kepada para pengikutnya yang pergi ke Barat? Mengapa Prabus Siliwangi tidak mengatakan kepada yang pergi ke barat untuk menemui anak-anaknya yang lain, bukankah ada anaknya yang lain selain Ki Santang? Itulah yang saya uraikan sebelumnya, Uga Wangsit Siliwangi dan Kisah Sabdo Palon adalah satu kesatuan Skenario Jagat. Kisah ini bukan rekayasa, di luar jangkauan karangan manusia, karena kisah ini terjadi dalam ruang dan waktu yang berbeda. Inilah bukti kekuasaan Tuhan, bahwa Dia ingin menegaskan bahwa Ratu Adil ini dari Nusantara untuk dunia.

Kita kembali lagi pada hakekat 4 unsur (Api, Angin, Air, dan Tanah) penting dalam segala penciptaan di alam semesta ini;

  • Hakekat Cahaya Merah adalah Unsur Api adalah Syaidina Abu Bakar adalah Huruf Alif.
  • Hakikat Cahaya Kuning adalah Unsur Angin adalah Syaidina Umar adalah  Huruf Lam Awal.
  • Hakikat Cahaya Putih adalah Unsur Air adalah Syaidina Utsman adalah Huruf Lam Akhir.
  • Hakikat Cahaya Hitam adalah Unsur Tanah adalah Syaidina Ali adalah Huruf Ha.

Pertanyaannya, darimana muasal dari cahaya 4 warna tersebut? Dari Johar Awal inilah bibit semua ciptaan/materi termasuk Ruang dan Waktu. Tasjid yang menjadi Pancernya. Menguasainya Budak Angon dan Pemuda Berjanggut kepada 4 unsur di atas karena ia sudah menemukan Tasjid Muhammad (Sajatining Syahadat) di dalam dirinya, siapa yang mengenal dirinya makan akan mengenal Tuhan-nya. Mengetahui awal dan akhir, mulih ka jati pulang ka awal. Budak Angon dan Pemuda Berjanggut sudah menjadi pancer/pusat, tidak terbatas ruang dan waktu.

Hal di atas selaras dengan makna dari Muhammad yang artinya sifat yang terpuji dan Abdullah adalah hamba Allah. Singkatnya, Budak Angon dan Pemuda berjanggut adalah Insan Kamil orang yang telah mengetahui hakikat dirinya, mengetahui Tasjid di dalam dirinya. Menjadi hamba Allah yang terpuji. Karena ia sudah mengetahui sejatinya Syahadat dalam dirinya. Menjadi pancer akan menebarkan rahmat ke delapan arah mata angin.

Bicara tentang 8 mata angin ini selaras dengan lambang Majapahit, siwha ditengah dan 8 batu mirah delima di kedelapan arahnya. Lambang Garuda ditengah dan 8 bintang di delapan arah. Mari kita mengurainya dengan pendekatan etimologis.

Delapan atau Dalapan dalam Bahasa Sunda.
Berdasarkan filosofi Aksara Jawa;

  • DA artinya adalah Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).
  • LA artinya adalah Lir handaya paseban jati (mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi).
  • PA artinya adalah Papan kang tanpa kiblat (Hakekat Allah yang ada disegala arah).
  • NA artinya adalah Nur candra, gaib candra, warsitaning candra (pengharapan manusia hanya selalu ke sinar/cahaya Illahi).
DA = 6, LA = 10, PA = 11, NA = 2 (urutan aksara Jawa).
6+10+11+2 = 29, 2+9 = 11, 1+1 = 2.


MIRAH DELIMA = MARAHA DALAMA
  • MA artinya adalah Madep mantep manembah mring Ilahi (mantap dalam menyembah Ilahi).
  • RA artinya adalah Rasaingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul daricinta kasih nurani).
  • HA artinya adalah Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci).
  • DA artinya adalah Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).
  • LA» Lir handaya paseban jati. ( mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi .)
  • MA artinya adalah Madep mantep manembah mring Ilahi (mantap dalam menyembah Ilahi).
MA = 16, RA = 4, HA = 1, DA= 6, LA = 10, MA = 16 (urutan aksara Jawa).
    16+4+1+6+10+16 = 53, 5+3 = 8.

    Delapan/DALAPANA = 2.
    Merah Delima/MARAHA DALAMA = 8.

    Makna dari temua jumlah 2 = Simbol Dzat dan Sifat. Sementara jumlah 8 = Malaikat Penjaga ‘Arsy. Dalam al-Qur’an, angka 8 merupakan jumlah malaikat yang menjunjung ‘Arsy (Kursi, Singgasana), mengatur keseimbangan ‘Arsy, yang bermakna power and authority dominion, baik sebelum maupun saat kiamat.

    Delapan Merah Delima dalam Lambang Majapahit adalah menceritakan bahwa gambar Shiwa adalah lambang Pancer dalam diri manusia, sama seperti lambang bintang dalam dada Garuda Pancasila. Dalam konsep Sunda adalah Ingsun yang menguasai 4 unsur tadi, mirah delima di segala penjuru adalah kemana pun kita menghadap harus mantap dalam menyembah ilahi (madep mantep manembah mring Gusti).

    Pesan yang tersirat dalam dari lambang delapan merah delima seperti pada gambar Shiwa adalah sebagai pusat yang menandakan mengenal Tuhan bisa melalui perjalanan ke dalam (inner journey) atau perjalanan luar. Karena hakekatnya, kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kita menghadap di situlah wajah Allah. Kemanapun kita melihat di situ ada Tuhan, ada Dzat dan Sifat-Nya, kemana pun kita melihat disitu ada Arsy-Nya, ada Singgasana-Nya. Barang Siapa manusia yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal  Tuhan-Nya, baik Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af'al-Nya (Ciptaannya/Perbuatannya/Kuasanya).

    Budak Angon dan Pemuda Berjanggut senjata sejatinya adalah Aji Kalimasada atau Dua Kalimat Syahadat. Senjata yang dapat menghancurkan gunung, yang dapat mensejahterakan ke penjuru alam, yang dapat memuliakan manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras, maupun golongan. Dua hal itu yang akan menjadikan dirinya dicintai semua orang bahkan seluruh mahluk, karena dua itulah yang menjadikannya welas asih, yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit baik lahir maupun batin.

    Makna dua (2) adalah  ketentuan, saling berpasangan, hukum penciptaan. 2 (Dua) itulah yang di ajarkan oleh Rangga Seta/Sayidina Ali kepada Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyon Genggong dan Kian Santang. 2 itu juga yang di ajarkan Semar Badranaya/Nabi Khidir AS.

    Kalimat Syahadat adalah Kun Fayakun, Awal dan Akhir Alam Semesta, di buka dengan Syahadat ditutup oleh Syahadat. Kalimat yang menjadikan Alam Semesta beserta isinya, malaikat, ruh, jin, surga dan neraka, dsb.

    Itulah Sejatinya Aji Kalimasada, sakti mandraguna tanpa ajimat. Sabda-nya adalah sabda mukti (saucap nyata saciduh metu), apa yang di inginkan terkabul, karena dari Aji Kalimasada itu akan menjadi 2 kembali yaitu Rahman dan Rahim (welas asih). Karena  Rahman dan Rahiim inilah yang merupakan Given dari Tuhan-Nya.

    Manusia yang mendapatkan Rahman dan Rahim dari Tuhan lah yang akan memimpin dunia ini dan mewarisinya.Bukan Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang merubah dunia, tapi Tuhan yang menghendakinya. Tuhan lah yang telah memilih Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang memimpinnya.  Ini adalah Lakon Jagat, karena sejatinya Tuhan Maha Sutradaranya. Nuwun

    Sumber akarasa.com