Berikut ini ialah beberapa misal menu persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati untuk leluhur (sesaji). Masing-masing uborampe mempunyai karakteristik dan arti yang dalam. Tanpa mengetahui makna, rasanya persembahan sesaji bakal terasa hambar dan mudah memunculkan prasangka buruk, dirasakan sesat, tak terdapat tuntunannya, dan syirik. Tetapi seluruh prasangka tersebut tentu datang dari hasil pemikiran yang tak lumayan informasi guna mengenal dan mengetahui apa arti hakekat di balik seluruh itu.
Kembang
Atau bunga. Bermakna filosofis supaya kita dan family senantiasa menemukan “keharuman” dari semua leluhur. Keharuman adalahkiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari semua leluhur, bisa mengalir (sumrambah) untuk anak turunnya.
Kembang Setaman
Uborampe ini paling fleksibel, cakupannya luas dan dimanfaatkan dalam sekian banyak acara ritus dan pekerjaan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari sejumlah jenis bunga. Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga.
Adapun makna-makna bunga itu yang penuh akan arti filosofis ialah sbb :
Kembang Kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil)
Atau simbol pepeling bahwa guna meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani. Maksudnya, guna meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan bermunculan dan batin, masing-masing orang tidak lumayan hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan dapat dialami secara bermunculan dan batin tanpa adanya penghayatan bakal nilai-nilai luhur dalam kehidupan keseharian (lakutama atau perilaku yang utama).
Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang untuk seluruh makhluk, untuk kedua orang tuanya dan semua leluhurnya. Bukankah hidup ini pada dasarnya guna saling memberi dan menerima kasih sayang untuk dan dari semua makhluk?
Kembang Mlathi (rasa melad saka njero ati)
Dalam berucap dan berkata hendaknya saya dan anda selalu berisi ketulusan dari hati nurani yang sangat dalam. Lahir dan batin mestilah tidak jarang kali sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi, bermakna filosofis bahwa masing-masing orang mengerjakan segala kebajikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), tidak boleh hanya dilaksanakan secara gerak ragawi saja.
Kembang Kenanga (keneng-a)
Atau gapailah..! Segala keluhuran yang telah dijangkau oleh semua pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang sukses dicapai semua leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing angga. Bermakna filosofis supaya supaya anak turun tidak jarang kali mengenang, seluruh “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang tidak sedikit berisi nilai-nilai kebijaksanaan lokal (local wisdom).
Kembang Mawar (mawi – arsa)
Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau awar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat itu harus menurut ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diinginkan datang dari Tuhan bilamana seseorang mengerjakan suatu tindakan baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum menjangkau ketulusan yang tiada batas atau suasana rasa tulus pada titik nihil, yaitu duwe rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya rasa punya) sebagaimana ketulusan Tuhan/kekuatan alam semesta dalam mencurahkan anugrah untuk seluruh makhluk.
Mawar Merah dan Mawar Putih
Mawar menggambarkan proses terjadinya atau lahirnya diri anda ke dunia fana. Yakni emblem dumadine jalma menungsa melalui tahapan Triwikrama. Mawar merah menggambarkan ibu. Ibu ialah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga anda diukir. Dalam bancakan weton dicerminkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
Dlingo dan Bengle
Keduanya tergolong rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle format luarnya serupa jahe. Tetapi baunya paling menyengat dan dapat membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna kuning muda. Karena baunya yang mblengeri sampai-sampai di Indonesia jenis rempah ini tidak dipakai sebagai bumbu masak. Sebaliknya di negeri Thailand rempah ini tergolong sebagai bumbu masak utama.
Entah apa sebabnya, bengle dan dlingo adalahrempah yang paling tidak digemari oleh bangsa lelembut. Sehingga masyarakat Jawa tidak jarang memanfaatkannya sebagai sarana penolak bala atau gangguan sekian banyak makhluk halus. Anda bisa membuktikannya secara sederhana. Bila terdapat orang tak waras yang dicurigai sebab ketempelan mahluk halus, atau andai ada seseorang sedang kesurupan, jajaki saja kamu ambil bengle, atau parutan bengle, kemudian oleskan di unsur tubuhnya mana saja, khususnya di unsur tengkuk.
Anda akan menyaksikan sendiri bagaimana reaksinya. Biasanya ia bakal ketakutan atau berteriak histeris kemudian sembuh dari kesurupan. Dalam tradisi Jawa, andai ada orang meninggal dunia seringkali disiapkan parutan bengle dibaur dengan tidak banyak air dipakai sebagai pengoles unsur belakang telinga. Gunanya untuk mencegah sawan.
Dlingo dan Bengle, walaupun dua-duanya sangat berbeda format dan rupanya, namun baunya seolah matching, paling serasi dan sekilas baunya nyaris sama. Dlingo dan bengle berfungsi pula sebagai sarana memasaang pagar gaib di lingkungan lokasi tinggal tinggal. Dengan teknik ; dlingo dan bengle ditusuk bareng seperti sate, kemudian di tanam di masing-masing sudut pekarangan atau rumah.
Akhir kata, hingga di sini dulu latihan berharga yang sekarang sering dirasakan remeh untuk yang merasa diri sudah suci dan kaya pengetahuan. Di balik semua tersebut sejatinya memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang budiman dalam mengetahui jagad raya dan segala isinya. Doa tak melulu diucap dari mulut. Tetapi pun diwujudkan dalam bergai simbol dan emblem supaya hakekat pepeling/ajaran yang terdapat di dalamnya gampang diingat-ingat untuk tidak jarang kali dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya sarat arti, penuh dengan filsafat kehidupan. Kaya akan arti alegoris mengenai moralitas dan spiritualitas dalam memahami kepribadian alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang terdapat dalam diri anda pribadi
Kembang
Atau bunga. Bermakna filosofis supaya kita dan family senantiasa menemukan “keharuman” dari semua leluhur. Keharuman adalahkiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari semua leluhur, bisa mengalir (sumrambah) untuk anak turunnya.
Kembang Setaman
Uborampe ini paling fleksibel, cakupannya luas dan dimanfaatkan dalam sekian banyak acara ritus dan pekerjaan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari sejumlah jenis bunga. Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga.
Adapun makna-makna bunga itu yang penuh akan arti filosofis ialah sbb :
Kembang Kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil)
Atau simbol pepeling bahwa guna meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani. Maksudnya, guna meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan bermunculan dan batin, masing-masing orang tidak lumayan hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan dapat dialami secara bermunculan dan batin tanpa adanya penghayatan bakal nilai-nilai luhur dalam kehidupan keseharian (lakutama atau perilaku yang utama).
Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni curahan kasih sayang untuk seluruh makhluk, untuk kedua orang tuanya dan semua leluhurnya. Bukankah hidup ini pada dasarnya guna saling memberi dan menerima kasih sayang untuk dan dari semua makhluk?
Kembang Mlathi (rasa melad saka njero ati)
Dalam berucap dan berkata hendaknya saya dan anda selalu berisi ketulusan dari hati nurani yang sangat dalam. Lahir dan batin mestilah tidak jarang kali sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi, bermakna filosofis bahwa masing-masing orang mengerjakan segala kebajikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), tidak boleh hanya dilaksanakan secara gerak ragawi saja.
Kembang Kenanga (keneng-a)
Atau gapailah..! Segala keluhuran yang telah dijangkau oleh semua pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang sukses dicapai semua leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing angga. Bermakna filosofis supaya supaya anak turun tidak jarang kali mengenang, seluruh “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang tidak sedikit berisi nilai-nilai kebijaksanaan lokal (local wisdom).
Kembang Mawar (mawi – arsa)
Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau awar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat itu harus menurut ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diinginkan datang dari Tuhan bilamana seseorang mengerjakan suatu tindakan baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti belum menjangkau ketulusan yang tiada batas atau suasana rasa tulus pada titik nihil, yaitu duwe rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya rasa punya) sebagaimana ketulusan Tuhan/kekuatan alam semesta dalam mencurahkan anugrah untuk seluruh makhluk.
Mawar Merah dan Mawar Putih
Mawar menggambarkan proses terjadinya atau lahirnya diri anda ke dunia fana. Yakni emblem dumadine jalma menungsa melalui tahapan Triwikrama. Mawar merah menggambarkan ibu. Ibu ialah tempat per-empu-an di dalam mana jiwa-raga anda diukir. Dalam bancakan weton dicerminkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).
Dlingo dan Bengle
Keduanya tergolong rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle format luarnya serupa jahe. Tetapi baunya paling menyengat dan dapat membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna kuning muda. Karena baunya yang mblengeri sampai-sampai di Indonesia jenis rempah ini tidak dipakai sebagai bumbu masak. Sebaliknya di negeri Thailand rempah ini tergolong sebagai bumbu masak utama.
Entah apa sebabnya, bengle dan dlingo adalahrempah yang paling tidak digemari oleh bangsa lelembut. Sehingga masyarakat Jawa tidak jarang memanfaatkannya sebagai sarana penolak bala atau gangguan sekian banyak makhluk halus. Anda bisa membuktikannya secara sederhana. Bila terdapat orang tak waras yang dicurigai sebab ketempelan mahluk halus, atau andai ada seseorang sedang kesurupan, jajaki saja kamu ambil bengle, atau parutan bengle, kemudian oleskan di unsur tubuhnya mana saja, khususnya di unsur tengkuk.
Anda akan menyaksikan sendiri bagaimana reaksinya. Biasanya ia bakal ketakutan atau berteriak histeris kemudian sembuh dari kesurupan. Dalam tradisi Jawa, andai ada orang meninggal dunia seringkali disiapkan parutan bengle dibaur dengan tidak banyak air dipakai sebagai pengoles unsur belakang telinga. Gunanya untuk mencegah sawan.
Dlingo dan Bengle, walaupun dua-duanya sangat berbeda format dan rupanya, namun baunya seolah matching, paling serasi dan sekilas baunya nyaris sama. Dlingo dan bengle berfungsi pula sebagai sarana memasaang pagar gaib di lingkungan lokasi tinggal tinggal. Dengan teknik ; dlingo dan bengle ditusuk bareng seperti sate, kemudian di tanam di masing-masing sudut pekarangan atau rumah.
Akhir kata, hingga di sini dulu latihan berharga yang sekarang sering dirasakan remeh untuk yang merasa diri sudah suci dan kaya pengetahuan. Di balik semua tersebut sejatinya memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang budiman dalam mengetahui jagad raya dan segala isinya. Doa tak melulu diucap dari mulut. Tetapi pun diwujudkan dalam bergai simbol dan emblem supaya hakekat pepeling/ajaran yang terdapat di dalamnya gampang diingat-ingat untuk tidak jarang kali dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya sarat arti, penuh dengan filsafat kehidupan. Kaya akan arti alegoris mengenai moralitas dan spiritualitas dalam memahami kepribadian alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang terdapat dalam diri anda pribadi