BENARKAH DAMPAK PERANG BUBAT KARENA STRATEGI GAJAHMADA??

Boleh disebutkan kebesaran raja Hayam Wuruk tidak lepas dari jasa Mahapatih Gajah Mada, yang sebab sumpah Palapanya, paling berambisi guna mempersatukan Nusantara di bawah Majapahit. Ambisi itu sukses diwujudkan kecuali Tatar Sunda yang wilayahnya mencakup wilayah Jawa Barat lebih tidak banyak (diperkirakan Cilacap masuk Tatar Sunda).


Belum tunduknya Tatar Sunda pastinya ada sebabnya. Kemungkinan besar sebab leluhur Majapahit (Raden Wijaya) dirasakan juga berdarah Sunda. Untuk Gajah Mada, belum tunduknya Tatar Sunda adalah tantangan besar. Gajah Mada butuh memanjangkan akal guna mencari teknik yang tepat dalam usahanya guna menundukkan distrik yang sarat keindahan itu.

Kebetulan sekali Hayam Wuruk belum mempunyai permaisuri. Sementara tersebut Raja Sunda, Prabu Linggabuana / Prabu Maharaja (1350-1357 M), diketahui memiliki puteri yang konon cantik jelita mempunyai nama Dyah Pitaloka.

Gajah Mada rupanya jeli menyaksikan peluang itu. Ia berjuang menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk dan pada kesempatan tersebut Gajah Mada bercita-cita untuk bisa menjadikan Tatar Sunda sekaligus tunduk untuk Majapahit. Caranya ialah dengan menyelenggarakan upacara perkawinan bukan di Sunda namun di Majapahit. Dengan teknik ini inginkan tidak inginkan sang pengantin wanita akan diantar oleh ayahandanya ke Majapahit sampai-sampai seolah-olah Raja Sunda tunduk untuk Majapahit dengan mempersembahkan puterinya sebagai upeti.


Gajah Mada, tanpa mengutarakan maksud yang sebenarnya untuk Hayam Wuruk, memberitahukan untuk rajanya tersebut bahwa terdapat puteri cantik dari Sunda yang patut dijadikan permaisuri. Rupanya Gajah Mada telah mendapatkan lukisan puteri itu sehingga ketika meihatnya, Hayam Wuruk kemudian jatuh cinta.

Atas usul Gajah Mada, Hayam Wuruk secara sah mengirim duta ke Kawali, ibukota Tatar Sunda, guna meminang. Pinangan diterima dan disusunlah rencana pengamalan perhelatan besar kerajaan. Entah apa sebabnya, mungkin sebab kelihaian diplomasi, tawaran Gajah Mada untuk menyelenggarakan perkawinan di Majapahit diterima oleh Raja Sunda.

Pada tahun 1357, Raja Sunda Prabu Linggabuana / Prabu Maharaja (1350-1357 M), diiringi selama 100 orang pejabat, pengiring dan pengawalnya berangkat ke Majapahit melewati laut mengirimkan Dyah Pitaloka. Rombongan ini lantas berkemah di alun-alun Bubat, di unsur utara ibukota Majapahit.

Pada ketika upacara perkawinan bakal dimulai, terjadi masalah (tentunya sebab taktik Gajah Mada). Semula Raja Sunda mengira bahwa regu pengantin lelaki akan datang menjemput tetapi pihak Gajah Mada meminta sebaliknya. Raja Sunda mesti mengirimkan puterinya ke Keraton Majapahit. Permintaan itu ditampik oleh Raja Sunda. Mudah dicerna karena masalah harga diri.

Keduanya, yang saling menuntut itu, lantas saling berhadapan di alun-alun Bubat. Entah siapa yang memulai, mungkin sebab suasana menjadi genting, terjadilah peperangan antara kedua pihak dalam situasi yang tidak sebanding.

Dapat diperkirakan bahwa kekuatan pasukan Tatar Sunda jauh lebih kecil bila dikomparasikan dengan pasukan Majapahit. Dalam peristiwa ini Linggabuana (Raja Galuh-Kawali), Dyah Pitaloka (anak Linggabuana) dan tidak sedikit pejabat Galuh tewas. Dikabarkan bahwa Dyah Pitaloka tewas sebab bunuh diri. Menurut daftar sejarah, peristiwa ini diduga terjadi pada tanggal 13 bagian cerah bulan 1279 Saka.

Sepeninggal Linggabuana yang tewas di Bubat itu, Bunisora – adik Linggabuana - lantas menjadi wali Kerajaan Kawali Galuh pada periode antara tahun 1357-1371 sebab Wastu Kancana, anak Linggabuana, masih berusia 9 tahun. Gelar Bunisora Prabu Batara Guru Pangadipa-ramarta Janadewabrata dan dinamakan Batara Guru di Jampang atau Prabu Kuda Lalean.

Sementara tersebut karena kejadian yang tragis di Bubat tersebut, Hayam Wuruk mengantarkan utusan ke Kawali dan diterima oleh adik Linggabuana yang bergelar Mangkubumi Suradipati. Utusan itu terdiri dari Darmajaksa (pemimpin) agama Syiwa, Darmajaksa Budha, Darmajaksa Wisnu setiap beserta pengiringnya dan pengawal kerajaan. Tentunya duta – yang berlatar belakang agama itu – mengupayakan untuk menyatakan duduk permasalahan dan sekaligus meminta maaf atas kejadian itu atas nama Raja Majapahit.

Mangkubumi Suradipati kemudian mengirim duta ke Majapahit untuk memungut semua abu mayat yang meninggal guna dibawa ke Kawali. Abu Linggabuana lantas dikebumikan di tanah kelahirannya. Kelak sebab dikenal bijaksana, maka ia digelari Prabu Wangi.
Walaupun permintaan maaf telah dikatakan dan abu jenazah sudah dibawa kembali bukan berarti urusan sudah selesai. Karena belum yakin benar mengenai kesungguhan Majapahit, Bunisora masih menyiagakan pasukan. Armada Sunda ditempatkan di muara Kali Brebes (Cipamali). Rupanya Hayam Wuruk tetap memegang janjinya sehingga saat Majapahit mengirimkan pengiriman ke Sumatera, Hayam Wuruk memberitahu terlebih dahulu untuk Bunisora bahwa armadanya melulu akan lewat saja.

Akibat peristiwa Bubat itu Hayam Wuruk jatuh sakit lumayan lama. Keluarga kerajaan berpikir bahwa penyebab peristiwa ini semua ialah Gajah Mada. Mereka bakal menangkapnya tetapi Gajah Mada sukses lolos dan menghilang. Kelak sesudah Hayam Wuruk sejumlah tahun kawin dengan wanita lain, Gajah Mada diampuni.

Hayam Wuruk memang kesudahannya kawin, yaitu dengan Paduka Sori / Ratu Ayu Kusumadewi, anak Wijayarajasa/Bhre Wengker dari hasil perkawinannya dengan Rajadewi Maharajasa / Bhre Daha (bibi Hayam Wuruk). Dari hasil perkawinan Hayam Wuruk dengan permaisuri ini lahirlah Kusumawardhani (bergelar Bhre Lasem), yang besok menjadi putera mahkota. Sementara tersebut dari perkawinannya dengan seorang perempuan lain (selir), Hayam Wuruk dikaruniai anak Bhre Wirabhumi yang besok menjadi penguasa Blambangan, di ujung unsur timur Pulau Jawa.

Hikmah yang bisa dipetik dari cerita tentang Dyah Pitaloka ini antara lain ialah :

Terjadi pencampuradukan antara cinta dengan politik dan Dyah Pitaloka -yang barangkali tidak tahu apa-apa - menjadi di antara korbannya.
Dyah Pitaloka, yang menanggung malu, menyelesaikan hidupnya dengan bunuh diri. Kehormatan diri dan keluarga barangkali dianggapnya lebih utama dikomparasikan nyawanya.
Di Jawa Barat, jarang bahkan boleh disebutkan tidak terdapat nama jalan Gajahmada, Hayam Wuruk dan Majapahit. Mungkin telah menjadi trauma di masyarakat di sana semenjak peristiwa Bubat tersebut.



Sampai akhir dinasti Majapahit, distrik Jawa Barat tetap tidak sedang di bawah Majapahit. Sumpah Palapa Gajah Mada belum sukses digenapi. Namun dengan kebebasan Indonesia, di mana telah tidak terdapat Majapahit lagi, semua kepulauan Nusantara bersatu pulang bukan sebab Sumpah Palapa, namun sebab Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.