Sepak terjang Belanda pada Indonesia di masa lalu tidak sedikit menyisakan misteri sejarah yang kadang terlupakan. Generasi canggih terkadang melulu mengenang peristiwa berdarah laksana pembantaian rakyat sipil yang dilaksanakan oleh tentara kolonial. Namun mereka lupa, bahwa terdapat segolongan orang asli yang pun telah tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri.
Mereka yang ganas ini tergabung dalam pasukan yang disebut Andjing NICA. Sebuah kompi yang berisikan putra asli asli Indonesia, tetapi membelot dan setia untuk kolonial Belanda. Aksi mereka di masa itu, lumayan efektif guna menciutkan nyali pejuang republik Indonesia. Kisah kelam mereka pun unik untuk diceritakan kembali.
Muncul karena gerakan “Masa bersiap”
Saat penjajahan masih berlangsung di Indonesia, semua pejuang republik memobilisasi rakyat dengan suatu gerakan yang mempunyai nama “Masa Bersiap”. Terlebih, Indonesia pada saat tersebut telah mengaku diri sebagai negara merdeka usai dibacakannya proklamasi 17 Agustus 1945. Berbekal motivasi kebebasan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tergerak hatinya untuk mengerjakan balas dendam pada orang Belanda, Indo-Belanda, atau mereka yang pro-Belanda.
Alhasil, mereka yang dirasakan berkhianat pada negara, dirasakan sebagai kaki tangan kolonial. Tak terkecuali masyarakat sipil yang dirasakan berkomplot dinamakan sebagai Andjing NICA. Berdasarkan keterangan dari Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2016), “disertai penganiayaan keji dan pemerkosaan. Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 hingga 20.000 orang.” Bisa dibilang, masa-masa tersebut merupakan mula kelam untuk warga Belanda yang bermukim di Indonesia maupun mereka yang dicurigai sebagai antek kolonial.
Kemunculan mula Kompi Andjing NICA
Berdasarkan kejadian di lapangan, mantan Kapten KNIL, J.C. Pasqua, lantas mulai menyusun sebuah satuan eksklusif pada 2 Desember 1945 dan berisikan orang- orang asli yang sering menjadi sasaran gerakan Massa Bersiap. Dilansir dari tirto.id, semua anggota Andjing NICA beranggotakan orang-orang Eropa, Timor, Ambon dan etnis gabungan lainnya. Sejak 23 Desember 1945 sampai 18 Januari 1946, kekuatannya terbangun di dekat Bandung dan Cimahi.
Jadi musuh rakyat Indonesia di masa kemudian
Berkekuatan sejumlah 4 kompi sampai Juni 1946, masing-masing kumpulan ditandai oleh suatu dasi dengan warna berbeda. Dasi hijau guna orang Eropa, merah menjadi identitas kumpulan Ambon, Dasi hitam guna warga Timor, dan etnis gabungan ditandai dengan warna biru. Lambang batalyon yang bergambar anjing merah yang menyalak, dirancang oleh E.C.E Amade.
Teror yang dijawab dengan Teror
Berangkat dari ketakutan dan teror gerakan Massa Bersiap, semua korbannya juga mendirikan kumpulan perlawanan yang disebut Andjing NICA. Anggotanya terdiri dari orang Belanda dan warga Indonesia yang dicurigai sebagai antek Belanda laksana orang Ambon, Minahasa dan Manado. Mereka berikut yang berperang, dan membantai semua pejuang Indonesia yang dinilai semena-mena terhadap mereka.
Terlibat ribut dengan saudara sendiri
Alhasil, pertumpahan darah juga terjadi salah satu kedua belah pihak. Bahkan menurut keterangan dari Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta No: 129 (Seri Laporan Djawatan Kepolisian Negara 21 tertanggal Februari 1950): Beberapa orang Ambon yang sering mangkal di Senen, di antaranya mempunyai nama Wimpie, Albert, Mingus Gerardus, dan Polang, pernah mengajak orang Republik yang mereka temui guna menelan lencana Merah-Putih yang dikenakan. Kompi Ambon ini sudah dijamin sebagai anggota Andjing NICA.
Ikut berperang menolong Belanda ketika pecah agresi militer II
Dalam aksinya, Kompi Andjing NICA tak kalah buas dalam meremukkan musuh-musuhnya. Terutama ketika pecahnya Agresi Militer Belanda II. Saat itu, mereka tengah menyokong pasukan Brigade T di Magelang pada 19 Desember 1948. Sayangnya, setahun lantas atau tepatnya pada 1949, tidak sedikit dari personel Andjing NICA yang notabene ialah orang-orang Indonesia.
Ikut dukung agresi militer Belanda
Dilansir dari tirto.id, semua pribumi yang tewas itu ialah Ikim orang Sunda, Bintang orang Manado, Usmani asal Manado, A. Noya dari Ambon, Samad orang Jawa, Hiariej asal Ambon, Kaawoan asal Manado, Joeseoef bin Kembang orang Sunda, E. Seipatttiratu asal Ambon, H Newaoema asal Timor, Ene orang Sunda, dan K. Moningka asal Manado. Semuanya meregang nyawa pada 13 Maret 1949 di wilayah Purworejo. Di Kranggan, Kopral asal Ambon yang mempunyai nama A. Matitanatiwen pun tewas.
Kisah akhir dari kisah buram Andjing NICA
Kemunculan kompi Andjing NICA, di anggap sangat negatif oleh masyarakat Indonesia. Bentrokan berdarah antar kedua belah pihak hampir tak bisa dielakkan. Sepak terjang mereka pun selesai saat kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Belanda pada 1949. Para anggota Andjing NICA, diberi opsi yang lumayan sulit. Bergabung dengan Belanda secara sarat atau ke angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). APRIS sendiri merupakan format negara konfederasi menurut distrik yang timbul dalam perjanjian KMB.
Riwayat Andjing NICA tamat seiring bubarnya KNIL
Tak mudah untuk Anggota Andjing NICA guna memilih APRIS. Terlebih, track record mereka belakangan yang tidak jarang terlibat kekerasan dengan pejuang Republik. Seiring dengan dibubarkannya KNIL pada 26 Juli 1950, kompi Andjing NICA juga seolah kehilangan induk semangnya. Perlahan, ekstensi pasukan yang dikenal sebagai kaki tangan Belanda tersebut pun berakhir.
Miris memang. Di tengah pekik kebebasan Indonesia, ternyata masih terdapat saja etnis asli yang menyokong penjajahan Belanda. Alhasil, kekacauan juga merebak salah satu sesama anak bangsa. Tentu saja, urusan itu tak butuh lagi terulang. Terutama di masa sekarang yang rawan terjadi gesekan antar suku, ras dan agama.
Mereka yang ganas ini tergabung dalam pasukan yang disebut Andjing NICA. Sebuah kompi yang berisikan putra asli asli Indonesia, tetapi membelot dan setia untuk kolonial Belanda. Aksi mereka di masa itu, lumayan efektif guna menciutkan nyali pejuang republik Indonesia. Kisah kelam mereka pun unik untuk diceritakan kembali.
Muncul karena gerakan “Masa bersiap”
Saat penjajahan masih berlangsung di Indonesia, semua pejuang republik memobilisasi rakyat dengan suatu gerakan yang mempunyai nama “Masa Bersiap”. Terlebih, Indonesia pada saat tersebut telah mengaku diri sebagai negara merdeka usai dibacakannya proklamasi 17 Agustus 1945. Berbekal motivasi kebebasan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tergerak hatinya untuk mengerjakan balas dendam pada orang Belanda, Indo-Belanda, atau mereka yang pro-Belanda.
Alhasil, mereka yang dirasakan berkhianat pada negara, dirasakan sebagai kaki tangan kolonial. Tak terkecuali masyarakat sipil yang dirasakan berkomplot dinamakan sebagai Andjing NICA. Berdasarkan keterangan dari Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2016), “disertai penganiayaan keji dan pemerkosaan. Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 hingga 20.000 orang.” Bisa dibilang, masa-masa tersebut merupakan mula kelam untuk warga Belanda yang bermukim di Indonesia maupun mereka yang dicurigai sebagai antek kolonial.
Kemunculan mula Kompi Andjing NICA
Berdasarkan kejadian di lapangan, mantan Kapten KNIL, J.C. Pasqua, lantas mulai menyusun sebuah satuan eksklusif pada 2 Desember 1945 dan berisikan orang- orang asli yang sering menjadi sasaran gerakan Massa Bersiap. Dilansir dari tirto.id, semua anggota Andjing NICA beranggotakan orang-orang Eropa, Timor, Ambon dan etnis gabungan lainnya. Sejak 23 Desember 1945 sampai 18 Januari 1946, kekuatannya terbangun di dekat Bandung dan Cimahi.
Jadi musuh rakyat Indonesia di masa kemudian
Berkekuatan sejumlah 4 kompi sampai Juni 1946, masing-masing kumpulan ditandai oleh suatu dasi dengan warna berbeda. Dasi hijau guna orang Eropa, merah menjadi identitas kumpulan Ambon, Dasi hitam guna warga Timor, dan etnis gabungan ditandai dengan warna biru. Lambang batalyon yang bergambar anjing merah yang menyalak, dirancang oleh E.C.E Amade.
Teror yang dijawab dengan Teror
Berangkat dari ketakutan dan teror gerakan Massa Bersiap, semua korbannya juga mendirikan kumpulan perlawanan yang disebut Andjing NICA. Anggotanya terdiri dari orang Belanda dan warga Indonesia yang dicurigai sebagai antek Belanda laksana orang Ambon, Minahasa dan Manado. Mereka berikut yang berperang, dan membantai semua pejuang Indonesia yang dinilai semena-mena terhadap mereka.
Terlibat ribut dengan saudara sendiri
Alhasil, pertumpahan darah juga terjadi salah satu kedua belah pihak. Bahkan menurut keterangan dari Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta No: 129 (Seri Laporan Djawatan Kepolisian Negara 21 tertanggal Februari 1950): Beberapa orang Ambon yang sering mangkal di Senen, di antaranya mempunyai nama Wimpie, Albert, Mingus Gerardus, dan Polang, pernah mengajak orang Republik yang mereka temui guna menelan lencana Merah-Putih yang dikenakan. Kompi Ambon ini sudah dijamin sebagai anggota Andjing NICA.
Ikut berperang menolong Belanda ketika pecah agresi militer II
Dalam aksinya, Kompi Andjing NICA tak kalah buas dalam meremukkan musuh-musuhnya. Terutama ketika pecahnya Agresi Militer Belanda II. Saat itu, mereka tengah menyokong pasukan Brigade T di Magelang pada 19 Desember 1948. Sayangnya, setahun lantas atau tepatnya pada 1949, tidak sedikit dari personel Andjing NICA yang notabene ialah orang-orang Indonesia.
Ikut dukung agresi militer Belanda
Dilansir dari tirto.id, semua pribumi yang tewas itu ialah Ikim orang Sunda, Bintang orang Manado, Usmani asal Manado, A. Noya dari Ambon, Samad orang Jawa, Hiariej asal Ambon, Kaawoan asal Manado, Joeseoef bin Kembang orang Sunda, E. Seipatttiratu asal Ambon, H Newaoema asal Timor, Ene orang Sunda, dan K. Moningka asal Manado. Semuanya meregang nyawa pada 13 Maret 1949 di wilayah Purworejo. Di Kranggan, Kopral asal Ambon yang mempunyai nama A. Matitanatiwen pun tewas.
Kisah akhir dari kisah buram Andjing NICA
Kemunculan kompi Andjing NICA, di anggap sangat negatif oleh masyarakat Indonesia. Bentrokan berdarah antar kedua belah pihak hampir tak bisa dielakkan. Sepak terjang mereka pun selesai saat kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Belanda pada 1949. Para anggota Andjing NICA, diberi opsi yang lumayan sulit. Bergabung dengan Belanda secara sarat atau ke angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). APRIS sendiri merupakan format negara konfederasi menurut distrik yang timbul dalam perjanjian KMB.
Riwayat Andjing NICA tamat seiring bubarnya KNIL
Tak mudah untuk Anggota Andjing NICA guna memilih APRIS. Terlebih, track record mereka belakangan yang tidak jarang terlibat kekerasan dengan pejuang Republik. Seiring dengan dibubarkannya KNIL pada 26 Juli 1950, kompi Andjing NICA juga seolah kehilangan induk semangnya. Perlahan, ekstensi pasukan yang dikenal sebagai kaki tangan Belanda tersebut pun berakhir.
Miris memang. Di tengah pekik kebebasan Indonesia, ternyata masih terdapat saja etnis asli yang menyokong penjajahan Belanda. Alhasil, kekacauan juga merebak salah satu sesama anak bangsa. Tentu saja, urusan itu tak butuh lagi terulang. Terutama di masa sekarang yang rawan terjadi gesekan antar suku, ras dan agama.