Berdasarkan keterangan dari para tetua desa Ndakan, wayang jimat Arjuna ialah wayang pemberian sang raja Kearton Surakarta untuk Ki Ajar Ndaka sebab telah sukses menyembuhkan putranya. Suatu saat putra raja sakit dan belum terdapat yang dapat mengobati, raja mendengar mengenai Ki Ajar Ndaka, seorang pertapa di lereng Merbabu yang familiar mempunyai ilmu medis yang mumpuni. Setelah diundang ke keraton, Ki Ajar membacakan sejumlah mantra dan obat tradisional guna sang putra raja, urusan itu ternyata menciptakan sang putra raja sembuh dari sakitnya.
Wayang jimat Arjuna sebagai hadiah dari raja keraton Surakarta
Atas usaha tersebut, Ki Ajar ditawari tanah, sejumlah keping emas dan status di kerajaan, tetapi hal tersebut ditampik olehnya. Sebagai gantinya raja menukar hadiah itu dengan Pusaka Kerajaan yang berupa wayang jimat dalam suatu peti kayu. Setelah meninggal nama Ki Ajar Ndaka diabadikan menjadi nama desa tersebut, Ndakan.
Wayang tradisional yang tercipta dari kulit seorang pemuda
Dari 80 karater wayang kulit yang biasa dilangsungkan di desa Ndakan, Magelang ini, melulu Arjuna lah yang dinilai istimewa. Ya, andai semua wayang tercipta dari kulit sapi, konon Arjuna tercipta dari kulit manusia. Dijadikan jimat sebab menurut keterangan dari warga Arjuna memiliki kekuatan supranatural yang tidak dipunyai wayang lain.
Arjuna atau Janoko dulunya diciptakan dari kulit seorang pemuda Surakarta yang tak diketahui siapa namanya, jauh sebelum keraton terbentuk. Jika disaksikan lebih detail, kulit wayang ini memang berbeda, lebih gelap, halus, tipis, serta enteng saat diangkat.
Hanya sesepuh desa yang dapat memainkannnya
Sebelum meninggal, Ki Ajar mewasiatkan semua sesepuh desa untuk mengawal wayang jimat ini. hasilnya, secara turun temurun ditugaskan satu orang eksklusif untuk mengawal dan mengasuh sang Arjuna. Seperti yang dituturkan oleh Sumitro, pernjaga wayang yang telah 30 tahun mengasuh Arjuna, melulu sesepuh desa saja yang dapat memainkan wayang ini, bukan orang lain.
Dalang wayang kulit [Images source]
Berdasarkan keterangan dari Sumitro, andai dimainkan oleh orang di samping sesepuh Ndakan, wayang bakal menjadi berat dan tangan dalang bakal goyah, sampai-sampai permainan tidak bakal sukses. Di samping itu, Arjuna melulu boleh dimainkan dua kali dalam setahun, yakni bulan Safar dan Syawal, mengekor peruntungan pada kalender Jawa.
Suara misterius dari dalam peti Arjuna
Selama 30 tahun mengawal wayang jimat Arjuna ini, selama tersebut pula Sumitro telah hapal bagaimana memperlakukan wayang tersebut. Ia mengakui andai ketika kesatu kali menjadi penjaga peti, tidak jarang terdengar suara ketukan masing-masing malam Jum’at kliwon yang berasal dari dalam peti dimana Arjuna disimpan.
Peti Arjuna [Image source]
Semenjak ketika itu, Sumitro rajin menyerahkan sesajen, dupa, dan air di atas peti masing-masing malam itu datang, sebab hal itulah yang bakal menghentikan ketukan itu. Di samping ketukan, terdapat selembar surat yang ditulis di daun lontar dengan bahasa yang tidak dicerna hingga kini. Nah, menurut keterangan dari sang penjaga surat tersebutlah yang adalahsumber kekuatan wayang ini.
Tempat peragaan serta pengabul permintaan
Pagelaran wayang yang dilakukan 2 tahun sekali ini pun harus di desa kecil di lereng Merbabu (Ndakan), bukan di lokasi lain. Sebelum peragaan harus disediakan dulu sesajen berupa ayam, tumpeng, kain jarik, jagung, tebu, pisang, teh dan kopi, jenang putih, serta kemenyan, semuanya mesti berjumlah dua buah.
Wayang Kulit Arjuna [Image source]
Mengenai tema pertunjukan, wayang jimat ini menilai peragaan dengan sendirinya, tidak terdapat tema ketetapan dari dalang. Berdasarkan keterangan dari para dalang yang pernah memainkan wayang Arjuna ini, urusan itu memang sudah dilangsungkan sejak lama. Bagi pagelaran di luar Ndakan, wayang ini dapat dilaksanakan bila tersebut bersangkutan pagelaran nazar sesudah tercapainya sebuah permintaan.
Hingga ketika ini, wayang Arjuna tetap menjadi keramat dan dipertahankan oleh semua sesepuh desa Ndakan. Wayang Arjuna ini menjadi sosok istimewa salah satu 80 karakter lain. Kalau guna urusan melestarikan budaya, sah-sah saja sih, asal tidak boleh dipuja berlebih dan dijadikan tuhan.