SEJARAH KERIS DAN EMPU ERA KADEWATAN


Penemuan cetakan tanah untuk pengecoran logam di beberapa situs daerah Bandung dan Pejaten, Jakarta bagian selatan membuktikan bahwa orang Jawa sudah mampu membuat atau memproduksi logam pada masa proto-sejarah (200 M – 600 M). 

Pada masa ini kerajaan pertama yang diketahui di Indonesia ialah kerajaan Salakanagara (130 M – 362 M) yang merupakan cikal bakal kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Jenis artefak logam berbahan perunggu di Indonesia yang terkenal ialah nekara besar dan dinamakan nekara Dong Son diduga diimpor setelah tahun 200 M dari pusat-pusat kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara. 

Nekara-nekara ini ditemukan di sepanjang rangkaian pulau Sunda, dari Sumatera melalui Jawa ke Nusa Tenggara dan mencapai Kepulauan Kai dekat Irian Jaya (Papua). Ada juga Nekara yang ditemukan dari Kalimantan.

Nekara digunakan sebagai tanda kebesaran raja atau kepala suku yang ingin berkumpul dengan kalangan elit dari berbagai negara lain. Selain Nekara, artefak lain yang diperkirakan dibuat pada masa ini di pulau Jawa ialah berbagai kapak corong dengan bentuk ekor walet, bejana dari Kerinci, Lampung dan Madura serta kapak upacara yang berukiran corak geometris dan figuratif yang berasal dari pulau Roti.

Teknologi pengolahan logam tentunya tidak melulu tentang teknik cetak lilin buang (a cire perdue) yang digunakan untuk mencetak nekara, namun ada juga teknik tempa lipat untuk membuat keris. 

Dalam buku-buku tentang keris dikenal masa Kadewatan, yaitu salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap zaman Kadewatan adalah imajiner, tidak nyata dan tidak pernah nyata.

Sebagian buku-buku kuno yang memuat tentang keris, seolah memberi gambaran bahwa keris itu asal mulanya adalah senjata para dewa, dan dibuat oleh empu-empunya kahyangan (Ensiklopedi Keris, 2011). 

Sebagian pecinta keris menganggap bahwa era Kadewatan adalah zaman tertua dalam periodisasi keris. Namun ada juga yang menganggap bahwa zaman tertua dalam periodisasi keris ialah zaman Kabudan.

Kabudan ialah salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap zaman Kabudan berlangsung antara abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni sezaman dengan pembangunan Candi Borobudur sampai dengan awal zaman Kahuripan.

(Ensiklopedi Keris, 2011). Dari pengertian kedua zaman tersebut dapat disimpulkan bahwa zaman Kadewatan berlangsung sebelum zaman Kabudan, jadi sebelum abad ke-6.

Penyebutan zaman pada dunia perkerisan memang tidak sama dengan penyebutan zaman pada periodisasi kerajaan di Indonesia.
Jika zaman Kadewatan itu berlangsung sebelum abad ke-6, maka kerajaan-kerajaan yang tercatat dalam sejarah di Pulau Jawa pada masa itu ialah Salakanagara (130-362), Tarumanagara (358–669), Kendan (536–612). 

Pada masa itu empu-empu yang terkenal ada beberapa yaitu :

Empu Ramahadi atau juga disebut empu Ramadi, beliau hidup di zaman Jawa Kanda (sekitar tahun 125). Dalam cerita rakyat beliau dianggap sebagai salah satu empu ketuunan dewa. Karyanya berupa 3 keris yang diberi nama : Sang Lar Ngatap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum.

Empu Sakahadi atau juga disebut empu Iskadi. beliau hidup di zaman Medang Siwandata dan mengabdi pada prabu Dewakenanga.

Beliau dititahkan untuk membuat keris yang sakti. Dalam satu tahun empu Sakahadi berhasil mewujudkan keinginan sang prabu. Keris ciptaannya dinamakan Sang Jalakdinding atau disebut juga Sang Jalakjinjing. Keris ini diciptakan sekitar tahun 216. Ketenaran sang empu Sakahadi membuat sang Prabu membunuhnya.

Empu Sukmahadi, hidup di sekitar tahun 230 (zaman Tulyanto) dan menetap di Jawa Timur. Beliau membabar satu pusaka saja yang diberi nama Sang Kala Hamisani. Setelah menciptakan (istilah dalam perkerisan : membabar) pusaka tersebut, beliau tidak lagi mau menjadi empu, sebab memiliki firasat bahwa karyanya pasti merenggut nyawa orang lain. 

Oleh sebab itu beliau memilih untuk mengasingkan diri ke pulau Bali mendekati puncak gunung Merbuk.

Empu Bramakedali, beliau hidup di zaman Medang Kamulan, sekitar tahun 261. Karyanya ada 2 bilah pusaka yang diberi nama Sang Balebang dan Sang Tilam Upih. 

Konon empu Bramakedali kurang senang dengan Sang Tilam Upih hingga pusaka tersebut dibungkus dengan klaras (daun pisang) kemudian dilarung di Laut Selatan.

Empu Saptagati, beliau hidup di zaman Gilingwesi (sekitar tahun 165) bersama Prabu Naradigda. Beliau membabar 3 bilah pusaka yang diberi nama : Sang Jaka Serang, Sang Supana Sidik, dan Sang Jantra. Beliau mencapai umur lebih dari 100 tahun dan meninggal sekitar tahun 265.

Empu Pujagati, beliau hidup pada zaman negeri Purwacarita, sekitar tahun 418. Ada 2 pusaka yang belia ciptakan yaitu : Sang Supanaluk (sempana luk), Sang bango Dholog.

Empu Sanggagati, beliau hidup di negeri Purwacarita sekitar tahun 420. Empu tersebut merupakan murid dari empu Pujagati yang dipercaya untuk meneruskan bakat sang guru. Setelah empu Pujagati meninggal dunia, barulah empu Sanggagati berani menciptakan keris buatannya sendiri. 

Keris ciptaannya ada dua bilah yaitu keris yang memiliki lekuk atau luk dinamakan Sang Karagan dan keris yang lurus dinamakan Sang Setan Kobar.

Empu Dewayasa I, beliau hidup di zaman negeri Wiratha, atau ada yang menyebut negeri Japara sekitar tahun 522. Ada 3 pusaka yang beliau ciptakan yaitu : Sang Ron Bakung, Sang Yuyurumpung dan Sang Dadapngerak. Empu Dewayasa I diperkirakan berasal dari negeri Jambudwipa (India).

Empu Dewayasa II, beliau hidup di zaman Purwacarita ketiga, beliau merupakan cucu dari empu Dewayasa yang pertama, beliau menciptakan 3 bilah keris pusaka yang bentuknya sama persis dengan pusaka buatan empu Dewayasa I. Pusaka tersebut dibuat secara bersamaan, namun penamaannya yang berbeda dari nama pusaka buatan empu Dewayasa I.

 Adapun keris pusaka buatan empu Dewayasa II ialah : Sang Carubuk, Sang Kebolajer, dan Sang Kabor.
Istilah penyebutan zaman pada buku-buku mengenai keris memang tidak sama dengan penyebutan zaman untuk periodisasi kerajaan di Indonesia. 

Namun jika merujuk pada penulisan tahun yang hampir semua buku tentang keris tidak ada perbedaan, maka bisa jadi Masa Kadewatan itu bukanlah sebuah zaman yang bersifat imajiner (khayal). 

Karena bisa jadi simbolisasi raja sebagai keturunan dewa yang dicampur dengan naskah-naskah pada kitab suci yang menyebabkan kerancuan antara fakta dan fiksi. Sebagai contoh ialah patung siwa yang diletakkan di dalam candi-candi Hindu. Patung dewa siwa itu merupakan perlambang dari Raja yang didharmakan pada candi tersebut.

Pengetahuan tentang dewa-dewa tentu saja berdasarkan dari kitab suci. Sedangkan raja adalah manusia yang dianggap memiliki kekuatan seperti dewa, karena bisa jadi seorang raja memiliki jabatan tertinggi dalam suatu kekuasaan, memiliki kewibawaan, kekuatan dan sifat-sifat superior yang lainnya oleh karena itu ia bisa bertindak seolah-olah seperti dewa. Atau mungkin sifat-sifat dewa itu dimiliki oleh raja, sehingga ada anggapan bahwa raja itu adalah titisan dari dewa.

Konsep Dewaraja inilah yang menyebabkan keris pada zaman Kadewatan seolah-olah bersifat imajiner, saya ambil contoh kisah tentang keris buatan empu Saptagati yang dibuat sekitar tahun 265, raja yang menitahkan ialah Maha Raja Buda Kresna di Purwacarita, riwayatnya yaitu : " Ketika raja Budawaka diperangi oleh raja Berawa di hutan Tulyan, raja Budawaka dengan hulu balangnya kalah, lalu lari menuju ke tanah Prayangan. Di hutan Medanggili, raja Budawaka berhenti dan bersemayam disitu.

Negeri Medanggili dipindah nama menjadi Gilingwesi. Raja Berawa kemudian menjadi raja di negeri Medangkamolan. Sang Hyang Wisnu menjelma di Madyapada yang kedua kalinya dan menjadi raja di Medangkamolan, raja Berawa dititahkan merajai semua lelembut (makhluk halus atau jin). Raja Berawa selalu menurut segala perintah Sang Hyang Wisnu, lalu Sang Hyang Wisnu berganti nama menjadi raja Budakresna, negeri Medangkamolan dipindah juga menjadi negeri Purwacarita ". (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009).     
                                            
Penyebutan negeri Medangkamolan (ada yang menyebut Medang Kamulan) pada cerita di atas tidak sama dengan penyebutan Medang pada periodisasi kerajaan di Indonesia. Cerita di atas terjadi sekitar tahun 265, sedangkan kerajaan Medang dalam periodisasi kerajaan di Indonesia terjadi sekitar tahun 752–1006.

Ini sedikit ulasan saya tentang zamanKadewatan pada periodisasi keris di pulau Jawa, bagaimanapun juga periodisasi kerajaan di Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam membentuk suatu peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa. Bisa jadi masa proto-sejarah di Indonesia adalah suatu keniscayaan dimana sejarah tentang perkerisan di Indonesia diawali. Nuwun.
Referensi :

F.L. Winter (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009)

Koesni (Pakem Pengetahuan Tentang Keris, 1979)

Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedia Keris, 2011)

Prasida Wibawa (Pesona Tosan Aji, 2008)

Dr. John Miksic (Seri Indonesian Heritage : Sejarah Awal, 2002)