PENYERBUAN JAYAKATWANG SAAT RITUAL PANCAMAKARAPUJA DI SINGASARI

Jayakatwang menyerang waktu Kertanegara tetap meminum minuman keras (“Sira Bathara Siwa Buddha (pijer anadhah sajeng”) .Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa kematian Kertanegara terjadi di tempat
minum tuak (“Sambi atutur komoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng”). Begitulah yang tertulis didalam Pararaton.


Kidung Harsawijaya terhitung pilih mengabadikan Kertanegara tengah bermabuk-mabukkan disaat diserang Jayakatwang, padahal waktu itu dia tengah jalankan upacara Tantrayana.
Prasasti Gajah Mada menceritakan berkenaan banyak pendeta dan para Mahawrddhamantri yang mati bersama Kertanegara. Mereka itulah yang tengah ikut jalankan upacara untuk mendatangkan Kalacakra tetapi terlambat keburu keduluan singgah serangan Jayakatwang.

Kertanegara adalah penganut setia aliran Budha Tantra.
Lapik arca Aksobya atau yang lebih dikenal sebagai Joko Dolok di Surabaya menceritakan berkenaan penobatan Kertanegara sebagai Jina (Dhyani Buddha). Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya. 

Setelah wafat Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Bhatara SiwaBuddha di Sagala bersama bersama permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana) bersama Locana. Di Candi Singosari dimuliakan sebagai Bhairawa.

Tantrayana berasal dari kata “Tan” yang berarti memaparkan kapabilitas atau kesaktian dewa. Aliran ini berkembang luas sampai ke Tibet, China, sampai ke nusantara. Dari Tantrisme ini munculah faham Bhairawa yang berarti hebat.

Sebagaimana di informasikan didalam Prasasti Palembang bertarikh 684 S, masuknya Tantrisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke VII di Kerajaan Sriwijaya.
Dari peninggalan purbakala bisa diketahui ada tiga peninggalan yaitu : Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas Sumatera Barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Raja Singasari Kertanegara di Jawa Timur, serta oleh Adityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit, dan Bhairawa Bima di Bali yang arcanya kini ada di Kebo Edan


Arca Bhairawa ada yang tangannya dua dan ada yang empat.
Arca yang ditemukan di persawahan pinggir sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawah Lunto, Sumatera Barat memiliki dua tangan. Tangan kirinya memegang mangkuk memuat darah manusia dan tangan kanannya membawa pisau belati.

Ia berdiri menginjak tubuh seorang guru bertubuh kecil (ada yang menyebut sosok bayi) yang kakinya terlipat di bawah badan dan berbaring tanpa pakaian di atas sekumpulan tengkorak manusia. Dua ekor ular melingkar di kaki dan lengannya sebagai gelang. Ia mengenakan sarung kotak-kotak bersama hiasan tengkorak di tengah, sedangkan ikat pinggangnya berhiaskan kepala kala. Masyarakat setempat pada mulanya tidak mengetahui ada artefak ini
sehingga beberapa arca yang menyeruak dari tanah dimanfaatkan untuk menumbuk padi dan kadang sebagai batu asah.

Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Singhasari yang kini disimpan di Tropen Museum Leiden Belanda memiliki empat tangan. Selain mangkuk darah dan pisau, dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan dipinggang untuk menari dilapangan mayat damaru / ksetra.

Arca Siwa Bhairawa yang ditemukan di Padang Roco, Sawah Lunto Sumatera Barat
(Sumber: Arie Saksono)

Umat Hindu/Buddha percaya dapat bersatu bersama dewa setelah meninggal. Upacara memuja Bhairawa yang dilakukan para penganut aliran Tantrayana merupakan jalan pintas untuk bisa bersatu bersama dewa waktu mereka masih hidup. Upacara ritual yang mesti dilakukan adalah Pancamakarapuja. 

Pancamakarapuja adalah upacara yang
melakukan 5 perihal yang dilarang dikenal bersama lima ma :
1. MADA atau mabuk mabukan
2. MAUDRA atau tarian melelahkan sampai jatuh pingsan
3. MAMSA atau makan daging mayat dan minum darah
4. MATSYA atau makan ikan gembung beracun
5. MATTHUNA atau bersetubuh secara berlebihan
Upacara dilakukan di lapangan tempat membakar mayat atau kuburan (sebelum mayat tersebut dibakar) yang disebut kurusetra, waktu bulan tengah gelap.

J.L. Moens didalam Buddhisme di Jawa dan Sumatera didalam Masa Kejayaannya Terakhir mengatakan bahwa kuburan
atau lapangan mayat bagi penganut ajaran ini dianggap sebagai tempat ikatan Samsara dilepaskan, dimana kehidupan duniawi berakhir, suatu tempat yang suci didalam ritual upacara pembebasan. Bau busuknya yang tak Arca Siwa Bhairawa Kertanegara yang kini berada di Tropen Museum
Leiden Belanda (Sumber: Tropen Museum)

tertahankan berkesan harum laksana berpuluh-puluh ribu juta bunga bagi orang yang sudah di tahbiskan. Sebelum meminum darah manusia para penganut terhitung dapat menari dan tertawa diiringi bunyi-bunyian dari pukulan tulang manusia.

“Penyatuan diri penganut sekte Bhairawa secara mistik bersama dewa tertingginya terkesan terlalu menyeramkan, sebab perihal ini sebetulnya sesuai bersama karakter dan bentuk arca Bhairawa sendiri”, tulis Pitono Hardjowardjojo dalam Adityawarman. 

Bhairawa sebetulnya tidak benar satu perwujudan Siwa yang digambarkan berwujud ugra/ganas, memiliki taring, dan terlalu besar seperti raksasa. Kendaraannya atau wahananya adalah serigala yang merupakan binatang pemakan mayat.

Aliran-aliran Bhairawa condong berwujud politis yang diperlukan untuk memperoleh kharisma dan wibawa yang besar yang diperlukan untuk mengendalikan pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kerajaan.

Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kapabilitas kaisar Kubhi Lai Khan di China yang menganut Bhairawa Heruka. Kebo Paru, Patih Singasari, menganut Bhairawa Bhima untuk mengimbangi Raja Bali yang kharismanya terlalu tinggi pada jaman itu. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja-raja Pagaruyung di Sumatera Barat yang menganut Bhairawa Heruka.

Bernard H. M Vlekke didalam Nusantara, mengatakan bahwa Khubi Lai Khan sudah di baiat didalam ilmu ghaib praktik
Budha Tantrayana aliran Heruka. Kertanegara sengaja mempersiapkan diri secara ×sik dan spiritual untuk menghadapi Kubi Lai Khan bersama mobilisasi Tantra juga. Setelah merasa kuat ia berani menampik utusan Mongol yang singgah pada th. 1289 bersama kasar.

Menurut Slamet Muljana didalam Menuju Puncak Kemegahan, bersama jadi Jina, berarti Kertanegara tak hanya menguasai kapabilitas gaib di alam semesta, dia pun menguasaai kerajaan secara nyata.
Tak heran waktu tentara Kediri duduki Singasari, yang paling mutlak tidak cuma membunuh raja dan
membumihanguskan kota saja, tetapi terhitung menghancurkan kekebalan magis dari kerajaan. Arca peninggalan masa Kertanegara yang kini tersimpan di Pusat Informasi Majapahit di Trowulan hancur bukan sebab sistem alam termakan usia, melainkan sengaja dihancurkan agar magis Tantra-nya hilang. Sarananya mesti dihancurkan.

Sumber: Menuju Puncak Kemegahan-Slamet Muljana, Nusantara- Bernard H. M Vlekke,
ariesaksono.wordpress.com, historia.id)