Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela hingga Ki Ageng Pemanahan lantas Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, adalahketurunan Brawijaya ke-43.
Diceritakan pun bahwa Ki Ageng Wanabaya III adalahtokoh yang sakti, maka tidak bakal semudah tersebut Panembahan Senopati membunuhnya dengan teknik membenturkan kepalanya ke lokasi duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan pun muncul dari masyarakat Desa Mangir.
Kembali pada kisah legenda, saat mulai jaman keruntuhan Majapahit, semua keturunan Prabu Brawijaya V terdapat yang memilih menjelajah kearah barat menduduki daerah-daerah subur yang dahulu pernah ditempati Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Babad Tanah Jawi, konon Raden Megatsari (Ki Ageng Mangir I) tertarik dengan banyaknya pohon kelapa yang sudah tumbuh menjadi hutan kelapa di tepian Sungai Progo. Daerah tersebut pun terdapat tidak sedikit satwa. Orang-orang ikut menduduki Desa Mangir dan hidup sejahtera dengan bertani dan menciptakan gula kelapa.
Setelah ki Ageng Mangir 1 wafat, kampung Mangir dipimpin oleh ki Ageng Mangir II atau Raden Wonoboyo. Ki Ageng Mangir sudah menjadi satu-satunya pemimpin, pengayom, guru dan lokasi bertanya untuk masyarakat desa Mangir. Bahkan pengaruh ki Ageng Mangir sudah meluas hingga ke desa-desa sekitarnya.
Sebuah daftar utama tak barangkali dihapus dari eksistensi ki Ageng Mangir II merupakan telah adanya kesamaan kebiasaan antara kampung Mangir dan kerajaan Demak Bintoro, yakni kehidupan baru yang mempunyai sifat gotong-royong dan keyakinan baru mempunyai sifat tauhid, sekalipun dua-duanya saling berjauhan dan tidak saling berhubungan. Hal ini diperlihatkan pula dengan sifat kepemimpinan Ki Ageng yang lebih mempunyai sifat demokratis, berdikari serta tidak dikendalikan oleh dominasi dan pengaruh dari luar komunitas (desa) setempat.
Ketika terjadi peralihan kepemimpinan dari Pajang ke Mataram (1589 M) bumi Mangir berada dalam keadaan yang aman tentram dan damai, Ki Ageng Mangir Wonoboyo II sudah wafat dalam umur sepuh dan digantikan oleh putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Konon Ki Ageng Mangir IV masih muda belum beristri dan sangat menyimak olah seni dan kebiasaan serta merasa bangga mempunyai tombak pusaka Kiai Barukuping atau tidak jarang disebut Kiai Baruklinting. Konon Sang Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram sesudah dijunung menggantikan Sultan Pajang tidak mau menduduki Istana Pajang tetapi lebih senang memakai gelar Panembahan, lengkapnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram.
Panembahan ialah seorang pemimpin, guru dan panutan masyarakat. Ia menuntun masyarakat dengan kebudayaan yang luhur sarat pengabdian, yakni Memayu Hayuning Buwana. Dikisahkan dalam menyimak wilayah kekuasannya di Mataram, Sang Panembahan Senopati sudah mendengar bahwa di Bumi Mangir yang tidak jauh dari istana Mataram, Ki Ageng Mangir Wonobo tidak inginkan tunduk kepada dominasi Mataram.
Alasan yang menjadi dasar “pembangkangan” :
Alasan kepercayaan keagamaan yakni ia tidak inginkan menyembah sesama insan atau makhluk ciptaan Tuhan, laksana katanya dalam tembang inilah ini : Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allahutangala, ora ngawula senopati, jer pada titahing Pangeran (Bukankan Allah yang mempunyai bumi, aku menghamba untuk Allah ta’ala bukan untuk Senopati, karena sama-sama makhluk Tuhan)
Ki Ageng Mangir hendak mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya sebab nenek moyangnya sudah membuka tanah dengan sulit payah tanpa pertolongan orang lain kenapa harus di berikan kepada orang lain?
Ki Ageng Mangir merasa lebih dahulu berkuasa di Mangir, merasa sedang di pihak yang benar dan merasa powerful menghadapi Senopati.
Alasan-alasan “pembangkangan” Ki Ageng Mangir yang masih muda tersebut juga sudah diketahui oleh Panembahan Senopati dan semua penasihatnya yakni Ki Juru Mertani dan lain-lain. Konon Sang Panembahan Senopati mencari teknik terbaik guna menundukkan Mangir. Diluar pengalamannya yang pernah dilakukannya saat menjadi prajurit muda di Pajang, Sang Panembahan Senopati bareng ayahanda Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani pernah ‘menyelesaikan’ peristiwa pembangkangan yang dilaksanakan oleh Sang Harya Penangsang, Adipati Jipang Panolan. “Tetapi tidak guna Mangir”, begitu sang Panembahan Senopati berbicara dalam hatinya. Mangir bakal diperlakukan dengan teknik tersendiri, yang lebih berbudaya dan manusiawi.
Diceritakan Putri Pembayun, putri favorit Panembahan Senopati telah mau menjadi utusan menyelesaikan dan menundukkan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Ki Ageng Mangir IV) Para kerabat Mataram telah memahami bahwa Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan semua kakeknya ialah kerabat Majapahit. Kisah demikian sudah beredar sejak Ki Ageng Pemanahan dan Sunan Kalijogo masih hidup. Kekerabatan tersebut menjadi putus sebab jarak yang paling jauh dan diceraikan oleh gunung dan hutan serta terputusnya kepentingan dan kepercayaan hidup masing-masing. Oleh sebab itu, sikap yang menjadi salah paham yakni menjadi pembalela mesti ditamatkan dengan damai.
Konon regu yang kesenian yang berangkat mengarah ke Mangir terdiri dari semua Punggawa terkemuka Negeri Mataram. Adipati Martalaya sebagai Dalang Sandiguna siap memimpin tujuan rahasia itu ditolong Ki Jayasupanta sebagai penabuh Ki Sandisasmita dan Ki Suradipa sebagai penggendang tak butuh berganti nama. Sedangkan Retna Pembayun yang menjadi waranggana sekaligus anak Ki Dalang dijaga oleh seorang bupati perempuan yang mempunyai nama Nyai Adirasa. Dikisahkan bahwa rombongan tersebut membawa perlengkapan gamelan, wayang dan semua wiyaga (penabuh gamelan) yang lumayan banyak. Dan perjalanannya sudah sampai di Kademangan Mangir.
Kebetulan kala tersebut di kademangan Mangir memang sedang merayakan Merti Dusun yakni menyambut pepanenan hasil pertanian yang diselenggarakan setiap tahun, tidak menduga ada regu kesenian dari luar desa.Tentu saja Ki Ageng bisa menerima kedatangan mereka dengan senang hati.
Tontonan itupun segera dilangsungkan sehingga semua kademangan Mangir menjadi hingar bingar. Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV yang masih perjaka terpikat akan keelokan Sang Waranggana yang duduk dibelakang Ki Dalang Sandiguna.
Selesai mendalang, mereka dijamu di dalam lokasi tinggal Ki Ageng. Rumah tersebut memang sepi sebab memang KI Ageng belum berkeluarga. Belum ada perempuan yang dapat menundukkan hatinya. Tetapi saat melihat Sang Waranggana yang konon Putri Ki Dalang Sandiguna, hatinya berkata lain dan kelihatannya mulai tumbuh benih-benih cinta. Ki Ageng Mangir terpapar panah asmara dan hendak melamar Sang Ayu guna menjadi istrinya.
Konon dua-duanya telah direstui guna menjadi suami istri. Retno Pembayun dengan sepenuh hati sudah rela guna menjadi Nyai Ageng Mangir Wonoboyo. Dengan pernikahan tersebut sesungguhnya bumi Mangir disebutkan telah menjadi unsur dari Istana Mataram.
Tetapi kiranya tak semudah tersebut untuk menundukkan suatu keyakinan. Ki Ageng Mangir Wonoboyo tidak mengira bahwa istrinya itu ialah Sekar Kedaton Kerajaan Mataream. Ia tidak pernah tunduk untuk Panembahan Senopati kenapa dapat menjadi menantu penguasa Mataram itu? Konon Ki Ageng masih bertanya-tanya dengan sarat keraguan, tetapi toh pupus dengan kepercayaan bahwa semuanya tersebut telah menjadi suratan takdir Yang Maha Kuasa.
Benih-benih cinta tetap mekar dan bersemi di hari keduanya. Tetapi guna menghadapkan sembah untuk mertuanya di Mataram? Harga diri dan pesan wanti-wanti kakek moyangnya tidak jarang kali saja mengganggunya. Kemandirian Desa Mangir mesti diteruskan tanpa mengikuti kepada dominasi lain. Tidak terdapat ketundukan tanpa kesadaran dan keikhlasan. Konon Ki Ageng Mangir benar-benar sedang di simpang jalan.
Nyai Ageng Mangir alias Retno Pembayun, yang ternyata seorang Putri Kedaton tak habis-habisnya membujuk sang suami guna segera menghadap ayahanda di Mataram. Ki Ageng beranggapan sungguh-sungguh untuk memungut sikap yang terbaik. Apakah maksud bahwasannya dari seorang Putri Panembahan Senopati sampai-sampai mau menjadi Nyai Ageng Mangir? Sehingga embrio cinta darinya telah bersemi di dalam kandungan Sang Putri yang konon semestinya masih bermanja-manja di Istana Keputren? Demikianlah, suratan takdir telah terjadi. Ki Ageng Mangir Wonoboyo muda mesti bertanggungjawab menghadapi fakta yang terjadi. Ia sudah siap menghadapi fakta yang terjadi. Ia sudah siap guna menghadapi mertuanya Sang Panembahan Senopati di Mataram.
Tetapi kewibawaan Mangir tak boleh sirna. Para pemuda Mangir mesti ikut serta dan tombak pusaka Kiai Barukuping mesti dibawa. Ia pun bakal menghadap Panembahan Senopati sebagai seorang Ksatria yang mempunyai harga diri dan martabat yang sama. Bukankah di Bumi Mangir telah tidak terdapat lagi.
Sembah-menyembah dan kasta-kasta? Selanjutnya Ki Ageng Mangir menuruti permintaan istrinya guna segera pergi ke istana. Konon semua kerabat Kraton Mataram sudah mempersiapkan upacara penyambutan yang umumnya disebut “ngunduh mantu” dengan tatacara yang meriah. Perjalanan Ki Ageng dan Nyai Ageng Mangir mengarah ke Mataram dibuntuti para kerabat Mangir yang lumayan banyak.
Cerita tentang saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram ini terdapat satu versi sejarah jutru adalahsebuah cerita yang dramatis, melulu sayang tidak tidak sedikit masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini bisa dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, sebab banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan teknik dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang sekarang menjadi di antara kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL.
Dari Mangir perjalanan mengarah ke ke unsur timur dan unsur utara sampai di kraton Mataram (Sekarang Kotagedhe) ditonton orang tidak sedikit di sepanjang jalan. Ternyata, hingga di Kraton Mataram semuanya sudah diatur, yaitu semua pengiring dihentikan dan dijamu makan-makanan di bangsal Pecaosan. Selanjutnya melulu kedua mempelai yang boleh masuk ke istana. Pada ketika itulah di Bangsal Pasewakan dikabarkan terjadi musibah di tangan Panembahan Senopati mertuanya sendiri, dan sejarah “pembangkangan” tersebut lenyap seketika. Konon ialah Konspirasi terselubung. Tapi ini tidaklah penting, apakah pembangkangan atau bukan. Dalam petikan sejarah tutur ini saya hendak kerabat akarasa memotret, dilematisnya Ki Ageng Mangir dalam kondisi yang sedemikian. Antara cinta dan amanah family yang terdapat dipundaknya.
Diceritakan pun bahwa Ki Ageng Wanabaya III adalahtokoh yang sakti, maka tidak bakal semudah tersebut Panembahan Senopati membunuhnya dengan teknik membenturkan kepalanya ke lokasi duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan pun muncul dari masyarakat Desa Mangir.
Kembali pada kisah legenda, saat mulai jaman keruntuhan Majapahit, semua keturunan Prabu Brawijaya V terdapat yang memilih menjelajah kearah barat menduduki daerah-daerah subur yang dahulu pernah ditempati Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Babad Tanah Jawi, konon Raden Megatsari (Ki Ageng Mangir I) tertarik dengan banyaknya pohon kelapa yang sudah tumbuh menjadi hutan kelapa di tepian Sungai Progo. Daerah tersebut pun terdapat tidak sedikit satwa. Orang-orang ikut menduduki Desa Mangir dan hidup sejahtera dengan bertani dan menciptakan gula kelapa.
Setelah ki Ageng Mangir 1 wafat, kampung Mangir dipimpin oleh ki Ageng Mangir II atau Raden Wonoboyo. Ki Ageng Mangir sudah menjadi satu-satunya pemimpin, pengayom, guru dan lokasi bertanya untuk masyarakat desa Mangir. Bahkan pengaruh ki Ageng Mangir sudah meluas hingga ke desa-desa sekitarnya.
Sebuah daftar utama tak barangkali dihapus dari eksistensi ki Ageng Mangir II merupakan telah adanya kesamaan kebiasaan antara kampung Mangir dan kerajaan Demak Bintoro, yakni kehidupan baru yang mempunyai sifat gotong-royong dan keyakinan baru mempunyai sifat tauhid, sekalipun dua-duanya saling berjauhan dan tidak saling berhubungan. Hal ini diperlihatkan pula dengan sifat kepemimpinan Ki Ageng yang lebih mempunyai sifat demokratis, berdikari serta tidak dikendalikan oleh dominasi dan pengaruh dari luar komunitas (desa) setempat.
Ketika terjadi peralihan kepemimpinan dari Pajang ke Mataram (1589 M) bumi Mangir berada dalam keadaan yang aman tentram dan damai, Ki Ageng Mangir Wonoboyo II sudah wafat dalam umur sepuh dan digantikan oleh putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Konon Ki Ageng Mangir IV masih muda belum beristri dan sangat menyimak olah seni dan kebiasaan serta merasa bangga mempunyai tombak pusaka Kiai Barukuping atau tidak jarang disebut Kiai Baruklinting. Konon Sang Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram sesudah dijunung menggantikan Sultan Pajang tidak mau menduduki Istana Pajang tetapi lebih senang memakai gelar Panembahan, lengkapnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram.
Panembahan ialah seorang pemimpin, guru dan panutan masyarakat. Ia menuntun masyarakat dengan kebudayaan yang luhur sarat pengabdian, yakni Memayu Hayuning Buwana. Dikisahkan dalam menyimak wilayah kekuasannya di Mataram, Sang Panembahan Senopati sudah mendengar bahwa di Bumi Mangir yang tidak jauh dari istana Mataram, Ki Ageng Mangir Wonobo tidak inginkan tunduk kepada dominasi Mataram.
Alasan yang menjadi dasar “pembangkangan” :
Alasan kepercayaan keagamaan yakni ia tidak inginkan menyembah sesama insan atau makhluk ciptaan Tuhan, laksana katanya dalam tembang inilah ini : Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allahutangala, ora ngawula senopati, jer pada titahing Pangeran (Bukankan Allah yang mempunyai bumi, aku menghamba untuk Allah ta’ala bukan untuk Senopati, karena sama-sama makhluk Tuhan)
Ki Ageng Mangir hendak mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya sebab nenek moyangnya sudah membuka tanah dengan sulit payah tanpa pertolongan orang lain kenapa harus di berikan kepada orang lain?
Ki Ageng Mangir merasa lebih dahulu berkuasa di Mangir, merasa sedang di pihak yang benar dan merasa powerful menghadapi Senopati.
Alasan-alasan “pembangkangan” Ki Ageng Mangir yang masih muda tersebut juga sudah diketahui oleh Panembahan Senopati dan semua penasihatnya yakni Ki Juru Mertani dan lain-lain. Konon Sang Panembahan Senopati mencari teknik terbaik guna menundukkan Mangir. Diluar pengalamannya yang pernah dilakukannya saat menjadi prajurit muda di Pajang, Sang Panembahan Senopati bareng ayahanda Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani pernah ‘menyelesaikan’ peristiwa pembangkangan yang dilaksanakan oleh Sang Harya Penangsang, Adipati Jipang Panolan. “Tetapi tidak guna Mangir”, begitu sang Panembahan Senopati berbicara dalam hatinya. Mangir bakal diperlakukan dengan teknik tersendiri, yang lebih berbudaya dan manusiawi.
Diceritakan Putri Pembayun, putri favorit Panembahan Senopati telah mau menjadi utusan menyelesaikan dan menundukkan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Ki Ageng Mangir IV) Para kerabat Mataram telah memahami bahwa Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan semua kakeknya ialah kerabat Majapahit. Kisah demikian sudah beredar sejak Ki Ageng Pemanahan dan Sunan Kalijogo masih hidup. Kekerabatan tersebut menjadi putus sebab jarak yang paling jauh dan diceraikan oleh gunung dan hutan serta terputusnya kepentingan dan kepercayaan hidup masing-masing. Oleh sebab itu, sikap yang menjadi salah paham yakni menjadi pembalela mesti ditamatkan dengan damai.
Konon regu yang kesenian yang berangkat mengarah ke Mangir terdiri dari semua Punggawa terkemuka Negeri Mataram. Adipati Martalaya sebagai Dalang Sandiguna siap memimpin tujuan rahasia itu ditolong Ki Jayasupanta sebagai penabuh Ki Sandisasmita dan Ki Suradipa sebagai penggendang tak butuh berganti nama. Sedangkan Retna Pembayun yang menjadi waranggana sekaligus anak Ki Dalang dijaga oleh seorang bupati perempuan yang mempunyai nama Nyai Adirasa. Dikisahkan bahwa rombongan tersebut membawa perlengkapan gamelan, wayang dan semua wiyaga (penabuh gamelan) yang lumayan banyak. Dan perjalanannya sudah sampai di Kademangan Mangir.
Kebetulan kala tersebut di kademangan Mangir memang sedang merayakan Merti Dusun yakni menyambut pepanenan hasil pertanian yang diselenggarakan setiap tahun, tidak menduga ada regu kesenian dari luar desa.Tentu saja Ki Ageng bisa menerima kedatangan mereka dengan senang hati.
Tontonan itupun segera dilangsungkan sehingga semua kademangan Mangir menjadi hingar bingar. Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV yang masih perjaka terpikat akan keelokan Sang Waranggana yang duduk dibelakang Ki Dalang Sandiguna.
Selesai mendalang, mereka dijamu di dalam lokasi tinggal Ki Ageng. Rumah tersebut memang sepi sebab memang KI Ageng belum berkeluarga. Belum ada perempuan yang dapat menundukkan hatinya. Tetapi saat melihat Sang Waranggana yang konon Putri Ki Dalang Sandiguna, hatinya berkata lain dan kelihatannya mulai tumbuh benih-benih cinta. Ki Ageng Mangir terpapar panah asmara dan hendak melamar Sang Ayu guna menjadi istrinya.
Konon dua-duanya telah direstui guna menjadi suami istri. Retno Pembayun dengan sepenuh hati sudah rela guna menjadi Nyai Ageng Mangir Wonoboyo. Dengan pernikahan tersebut sesungguhnya bumi Mangir disebutkan telah menjadi unsur dari Istana Mataram.
Tetapi kiranya tak semudah tersebut untuk menundukkan suatu keyakinan. Ki Ageng Mangir Wonoboyo tidak mengira bahwa istrinya itu ialah Sekar Kedaton Kerajaan Mataream. Ia tidak pernah tunduk untuk Panembahan Senopati kenapa dapat menjadi menantu penguasa Mataram itu? Konon Ki Ageng masih bertanya-tanya dengan sarat keraguan, tetapi toh pupus dengan kepercayaan bahwa semuanya tersebut telah menjadi suratan takdir Yang Maha Kuasa.
Benih-benih cinta tetap mekar dan bersemi di hari keduanya. Tetapi guna menghadapkan sembah untuk mertuanya di Mataram? Harga diri dan pesan wanti-wanti kakek moyangnya tidak jarang kali saja mengganggunya. Kemandirian Desa Mangir mesti diteruskan tanpa mengikuti kepada dominasi lain. Tidak terdapat ketundukan tanpa kesadaran dan keikhlasan. Konon Ki Ageng Mangir benar-benar sedang di simpang jalan.
Nyai Ageng Mangir alias Retno Pembayun, yang ternyata seorang Putri Kedaton tak habis-habisnya membujuk sang suami guna segera menghadap ayahanda di Mataram. Ki Ageng beranggapan sungguh-sungguh untuk memungut sikap yang terbaik. Apakah maksud bahwasannya dari seorang Putri Panembahan Senopati sampai-sampai mau menjadi Nyai Ageng Mangir? Sehingga embrio cinta darinya telah bersemi di dalam kandungan Sang Putri yang konon semestinya masih bermanja-manja di Istana Keputren? Demikianlah, suratan takdir telah terjadi. Ki Ageng Mangir Wonoboyo muda mesti bertanggungjawab menghadapi fakta yang terjadi. Ia sudah siap menghadapi fakta yang terjadi. Ia sudah siap guna menghadapi mertuanya Sang Panembahan Senopati di Mataram.
Tetapi kewibawaan Mangir tak boleh sirna. Para pemuda Mangir mesti ikut serta dan tombak pusaka Kiai Barukuping mesti dibawa. Ia pun bakal menghadap Panembahan Senopati sebagai seorang Ksatria yang mempunyai harga diri dan martabat yang sama. Bukankah di Bumi Mangir telah tidak terdapat lagi.
Sembah-menyembah dan kasta-kasta? Selanjutnya Ki Ageng Mangir menuruti permintaan istrinya guna segera pergi ke istana. Konon semua kerabat Kraton Mataram sudah mempersiapkan upacara penyambutan yang umumnya disebut “ngunduh mantu” dengan tatacara yang meriah. Perjalanan Ki Ageng dan Nyai Ageng Mangir mengarah ke Mataram dibuntuti para kerabat Mangir yang lumayan banyak.
Cerita tentang saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram ini terdapat satu versi sejarah jutru adalahsebuah cerita yang dramatis, melulu sayang tidak tidak sedikit masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini bisa dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, sebab banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan teknik dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang sekarang menjadi di antara kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL.
Dari Mangir perjalanan mengarah ke ke unsur timur dan unsur utara sampai di kraton Mataram (Sekarang Kotagedhe) ditonton orang tidak sedikit di sepanjang jalan. Ternyata, hingga di Kraton Mataram semuanya sudah diatur, yaitu semua pengiring dihentikan dan dijamu makan-makanan di bangsal Pecaosan. Selanjutnya melulu kedua mempelai yang boleh masuk ke istana. Pada ketika itulah di Bangsal Pasewakan dikabarkan terjadi musibah di tangan Panembahan Senopati mertuanya sendiri, dan sejarah “pembangkangan” tersebut lenyap seketika. Konon ialah Konspirasi terselubung. Tapi ini tidaklah penting, apakah pembangkangan atau bukan. Dalam petikan sejarah tutur ini saya hendak kerabat akarasa memotret, dilematisnya Ki Ageng Mangir dalam kondisi yang sedemikian. Antara cinta dan amanah family yang terdapat dipundaknya.