Bagi penduduk masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan figur biasa. Dia ialah penyebar agama Islam dan seorang figur yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal akan nama area Tanjung Priok.
Mbah Priok bukan orang pribumi Jakarta. Dia dicetuskan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada 1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A.
Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum kesudahannya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, guna memperdalam ilmu agama.
Menjadi penyebar syiar Islam ialah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam umur 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa.
Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, dia pergi bareng Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya memakai perahu.
Konon, dalam perjalanannya, regu dikejar-kejar tentara Belanda. Namun, mereka tak takluk.
Dalam perjalanan yang santap waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal sejumlah liter beras yang tercecer dan periuk guna menanak nasi.
Suatu saat regu ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun berakhir dibakar. Saat itu, Mbah Priok memasukan periuk mengandung beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk pulang menjadi nasi.
Cobaan belum berakhir, sejumlah hari lantas datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak dapat dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sementara Al Imam Al Arif Billah dan Al Arif Billah Al Habib mesti sulit payah menjangkau perahu sampai perahu yang saat tersebut dalam posisi terbalik.
Dalam situasi terjepit dan tubuh lemah, dua-duanya salat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini dilangsungkan 10 hari, sampai-sampai wafatlah Al Imam Al Arif Billah.
Sedangkan Al Arif Billah Al Habib alam situasi lemah duduk diatas perahu disertai priuk dan suatu dayung -- terdorong ombak dan diiringi dolfin menuju pantai.
Kejadian tersebut disaksikan sejumlah orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah Al Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang telah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di unsur kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil -- yang kesudahannya tumbuh menjadi pohon tanjung.
Sementara periuk nasi yang dapat menanak beras secara ajaib diletakkan di sisi makam. Konon -- periuk itu lama-lama bergeser dan akhirnya hingga ke laut.
Banyak orang menyatakan jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk tersebut timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.
Berdasarkan kejadian itu, wilayah tersebut akhirnya disebut dengan Tanjung Priuk, ada pun yang menyinggung Pondok Dayung -- yang dengan kata lain dayung pendek. Nama Al Imam Al Arif Billah juga dikenal jadi 'Mbah Priok'.
Rekan perjalanan Mbah Priok, Al Arif Billah Habib Ali Al Haddad diberitakan sempat menetap di wilayah itu. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya hingga selesai di Sumbawa.
Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, saat Belanda berkuasa, pemerintah kolonial hendak membongkar makam ini tiba tersiar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sampai-sampai urung dibongkar.
Mbah Priok bukan orang pribumi Jakarta. Dia dicetuskan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan pada 1722 dengan nama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A.
Al Imam Al Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum kesudahannya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, guna memperdalam ilmu agama.
Menjadi penyebar syiar Islam ialah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam umur 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa.
Al Imam Al Arif Billah tak sendirian, dia pergi bareng Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad dan tiga orang lainnya memakai perahu.
Konon, dalam perjalanannya, regu dikejar-kejar tentara Belanda. Namun, mereka tak takluk.
Dalam perjalanan yang santap waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal sejumlah liter beras yang tercecer dan periuk guna menanak nasi.
Suatu saat regu ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun berakhir dibakar. Saat itu, Mbah Priok memasukan periuk mengandung beras ke jubahnya. Dengan doa, beras dalam periuk pulang menjadi nasi.
Cobaan belum berakhir, sejumlah hari lantas datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak dapat dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sementara Al Imam Al Arif Billah dan Al Arif Billah Al Habib mesti sulit payah menjangkau perahu sampai perahu yang saat tersebut dalam posisi terbalik.
Dalam situasi terjepit dan tubuh lemah, dua-duanya salat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini dilangsungkan 10 hari, sampai-sampai wafatlah Al Imam Al Arif Billah.
Sedangkan Al Arif Billah Al Habib alam situasi lemah duduk diatas perahu disertai priuk dan suatu dayung -- terdorong ombak dan diiringi dolfin menuju pantai.
Kejadian tersebut disaksikan sejumlah orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah Al Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang telah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di unsur kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil -- yang kesudahannya tumbuh menjadi pohon tanjung.
Sementara periuk nasi yang dapat menanak beras secara ajaib diletakkan di sisi makam. Konon -- periuk itu lama-lama bergeser dan akhirnya hingga ke laut.
Banyak orang menyatakan jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk tersebut timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.
Berdasarkan kejadian itu, wilayah tersebut akhirnya disebut dengan Tanjung Priuk, ada pun yang menyinggung Pondok Dayung -- yang dengan kata lain dayung pendek. Nama Al Imam Al Arif Billah juga dikenal jadi 'Mbah Priok'.
Rekan perjalanan Mbah Priok, Al Arif Billah Habib Ali Al Haddad diberitakan sempat menetap di wilayah itu. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya hingga selesai di Sumbawa.
Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, saat Belanda berkuasa, pemerintah kolonial hendak membongkar makam ini tiba tersiar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sampai-sampai urung dibongkar.