KI AGENG SURODIWIRDJO (EYANG SURO) "TOKOH PENCAK SILAT PENDIRI SH"

Muhamad Masdan lahir pada 1869 di wilayah Gresik (Jawa Timur). Kelak lantas putra Ki Ngabehi Soeromihardjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro) dan menjadi di antara tokoh pencak silat di Indonesia yang paling dihormati. Beliau pun sebagai pencipta pencak silat "SH" dan pendiri "Persaudaraan Setia Hati" pada tahun 1903.

 Beliau ialah keturunan dari bupati Gresik. Ayahnya mempunyai nama Ki Ngabehi Soeromiharjo ialah manteri cacar Ngimbang-Lamongan yang mempunyai 5 putera, yaitu: Ki Ngabehi Soerodwirjo (Masdan), Noto/Gunari (di Surabaya), Adi/ Soeradi (di Aceh), Wongsoharjo (di Madiun), Kartodiwirjo (di Jombang). Saudara laki2 dari ayahnya R.A.A Koesomodinoto menjabat sebagai bupati Kediri. Seluruh family ini ialah keturunan dari Batoro Katong dari Ponorogo (Putra Prabu Brawijaya Majapahit).


Perjalanan Hidup

Eyang Suro
Setahun setelah menuntaskan pendidikan formal setingkat SD, beliau mendapat kegiatan magang sebagai juru tulis pada seorang kontroler (orang Belanda). Di samping bekerja, beliau tetap meneruskan belajar di Pesantren Tebuireng (Jombang). Dari Pesantren inilah, Eyang Suro mulai menelaah ilmu agama dan pencak silat sekaligus.

Pada umur 17 tahun (1886) beliau pindah ke Batavia/ Jakarta, dan memanfaatkan guna memperdalam pencak silat sampai menguasai jurus2: Betawen, Kwitang, Monyetan, Permainan toya (stok spel).

Pada 1887 beliau ikut kontrolir belanda ke Bengkulu, disana beliau belajar gerakan2 serupa jurus2 dari Jawa barat. Pertengahan tahunnya ikut kontroler belanda ke Padang, dan bekerja tetap pada bidang yang sama. Didaerah Padang hulu dan hilir beliau mempelajari gerakan2 yang bertolak belakang dari pencak Jawa.

Selanjutnya beliau berguru untuk Datuk Raja Betuah seorang pendekar dan guru kebatinan dari dusun Alai, Pauh, kota Padang. Pendekar ini ialah guru yang kesatu kali di Sumatera Barat. Datuk Raja Betuah memiliki kakak mempunyai nama Datuk Panghulu dan adiknya mempunyai nama Datuk Batua yang ketiganya adalahpendekar termasyur dan dihormati masyarakat.

Pada umur 28 tahun beliau jatuh cinta untuk seorang gadis padang, puteri seorang guru ilmu kebatinan yang berdasar islam (tasawuf). Bagi mempersunting gadis ini beliau mesti mengisi bebana, dengan membalas pertanyaan dari sang gadis pujaan yang berbunyi "SIAPAKAH MASDAN INI" dan "SIAPAKAH SAYA INI".


Karena tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan pikiranya sendiri maka beliau berguru untuk seorang berpengalaman kebatinan mempunyai nama Nyoman Ida Gempol yakni seorang punggawa besar kerajaan bali yang dilemparkan belanda ke padang. Ia dikenal dengan nama Raja Kenanga Mangga Tengah (bandingkan dengan nama desa Winongo-Madiun-Tengah-Madya). Dari sini Ki Ngabehi mendapat pandangan hidup TAT TWAM ASI(ia ialah aku).

Kemudian pada tahun yang sama beliau belajar pencak silat sekitar 10 tahun untuk pendekar Datuk Raja Batuah dan mendapat ekstra jurus2 dr wilayah padang, antara lain: Bungus (uit de haven van teluk bayur), Fort de Kock, Alang-lawas, Lintau, Alang, Simpai, Sterlak. Sebagai tanda lulus beliau mempersembahkan pisungsun berupa pakaian hitam komplit.

Selanjutnya ilmu yang didapatkan dari Nyoman Ida Gempol dibulatkan dengan pencak silat serta ilmu kebatinan yang didapatkan dari Datuk Raja Batuah sampai-sampai menjadi aliran pencak silat baru yang nantinya oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo disebut SETIA HATI.

Akhirnya bebana yang diminta gadis pujaan beliau dapat dibalas dengan ilmu dr setia hati diatas dan gadis tersebut menjadi istri beliau, namun dari perkawinan ini belum memiliki keturunan.

Pada umur 29 tahun beliau bareng istrinya pergi ke Aceh dan bertemu adiknya yang mempunyai nama Soeradi yang menjabat sebagai kontrolir DKA di LhoukSeumawe, didaerah ini beliau mendapat teknik kucingan dan permainan binja. Pada tahun itu guru besar beliau Raja Kenanga Mangga Tengah diperbolehkan pulang ke bali. Ilmu beliau bisa dinikmati saudara2 SH dengan motto "GERAK LAHIR LULUH DENGAN GERAK BATIN" "GERAK BATIN TERCERMIN OLEH GERAK LAHIR".

Tahun 1900 Ki Ngabehi pulang ke betawi bareng istrinya dan beliau bekerja sebagai masinis stoom wals. Kemudian beliau bercerai, dimana ibu Soerodoworjo kembali ke padang dan beliau ke bandung.

Tahun 1903 KiNgabehi pulang ke Surabaya dan menjabat sebagai polisi dienar sampai mencapai pangkat sersan mayor. Di Surabaya beliau familiar dengan keberanianya menumpas kejahatan, lantas beliau pindah ke ujung dimana tidak jarang terjadi bentrokan antara beliau dengan pelaut2 asing.

Pada tahun ini beliau menegakkan persaudaraan SEDULUR TUNGGAL KECER-LANGEN MARDI HARDJO (Djojo Gendilo) pd Jum'at legi 10 Suro 1323 H.

Pada tahun 1905 guna kedua kalinya beliau menggelar pernikahan yakni dengan ibu Sarijati yang saat tersebut berusia 17 tahun, dari pernikahan ini menemukan 3 orang putra dan 2 orang putri dimana semuanya meninggal sewaktu masih kecil.

Kombinasi ini terus menjadi pola belajar yang beliau dapatkan selepas dari Tebuireng. Seperti ketika lantas ditugaskan sebagai pegawai pengawas di Bandung, dimana selain meningkatkan wawasan agama dari guru setempat, pun mendapatkan ilmu pencak silat aliran Pasundan laksana Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cimalaya dan Sumedangan.

Hanya satu tahun di Bandung, beliau mesti pindah kerja ke Jakarta (Batavia). Dan sekitar di Jakarta pun, beliau menggunakan peluang untuk memperdalam ilmunya pada guru agama yang pun mengajarkan pencak silat aliran Betawen, Kwitang dan Monyetan.
Tanah Sumatra


 Selanjutnya Eyang Suro mesti pindah lokasi kerja lagi ke Aceh yang memungkinkannya memperdalam ilmu dari guru-guru di wilayah setempat laksana Tengku Achmad Mulia Ibrahim, dll yang di samping mengajarkan agama pun pencak silat Aceh.

Setelah empat tahun sedang di Aceh, Eyang Suro pulang ke Surabaya (Jawa Timur). Ketika lantas mulai tidak sedikit murid yang bermaksud belajar kepadanya maka supaya lebih terorganisasikan kemudian disusun perguruan pencak silat dengan nama (dalam ejaan baru) Joyo Gendilo Cipto Mulyo / Sedulur Tunggal Kecer. Sebuah perguruan pencak silat yang besok berkembang menjadi tidak sedikit perguruan laksana Persaudaraan Setia Hati, Setia Hati Terate, KPS Nusantara, dan sejumlah nama perguruan pencak silat lainnya lagi.
Akhir

Pada tahun 1933 Beliau pensiun dari jabatannya dan menetap di desa Winongo Madiun. Kemudian tahun 1944 Beliau menyerahkan pelajaran yang terakhir di Balong Ponorogo (Saudara Koesni cs dan Soerjatjaroko).
Eyang Suro
Tak selang sejumlah lama lantas beliau jatuh sakit dan kesudahannya wafat pada hari Jum’at Legi 10 November 1944 jam 14:00 (Bulan Selo tanggal 24 tahun 1364 H), di rumah lokasi tinggal beliau di Winongo, Madiun.

Beliau Dimakamkan di Pesarean Winongo dengan Kijing batu nisan granit, serta dikelilingi bunga melati. “SEMOGA ARWAH BELIAU DITERIMA DISISI TUHAN YANG MAHA ESA” Sehabis pemakaman diucapkan ayat Suci Al Qur’an oleh Bapak Naib Jiwan untuk mengisi pesan terakhir Ki Ngabehi Soerodiwirjo sebelum wafat dan diambilkan ayat “Lailatul Qadar” (Temurunnya Wahyu Illahi)

Adapun pesan Eyang Suro ialah "Jika saya sudah kembali ke Rahmatullah agar saudara-saudara “Setia-Hati” tetap bersatu hati, tetap rukun bermunculan bathin."
Dikutip dari sekian banyak  sumber