Kerbau ‘Bule’ Kyai dan Nyai Slamet di Surakarta,Dipercaya Memiliki Sisi Mistis

Jika dilihat, kerbau ini berperawakan laksana kerbau pada umumnya, melulu saja warna kulit yang putih menciptakan mereka dinamakan sebagai kerbau albino alias ‘bule’. Kira-kira seberapa digdaya ya kerbau ini? ayo simak pembahasan Boombastis berikut.


Asal-usul penyematan nama pada Kyai dan Nyai Slamet
Berdasarkan keterangan dari seorang abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta, kerbau albino ini telah ada semenjak 250 tahun lalu. Memiliki lokasi terhormat di keraton bukanlah tanpa sebab, pasalnya saat zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusumo pernah terjadi kebakaran di suatu perkampungan. Api yang besar dan menyala melahap seluruh yang terdapat di sekitarnya, tergolong wilayah keraton. Anehnya, ketika api melahap seluruh kandang yang ada, terdapat satu kandang yang tersisa dan tidak tersentuh api sedikitpun.


Setelah diperiksa, terdapat seekor kerbau, tombak, dan penjaga yang selamat dari kejadian naas tersebut. Atas perintah Sultan Agung kerbau tersebut diajak mengelilingi seluruh tempat yang dilalap si jago merah, dan api langsung padam begitu saja. Semenjak itulah kerbau ‘bule’, tombak, serta penjaga kandang diusung menjadi punggawa dan sosok yang dihormati di keraton Surakarta.

Kerbau keturunan raja yang membawa berkah
Kyai dan Nyai Slamet tidak ditugaskan membajak sawah laksana kerbau biasanya, lebih dari tersebut mereka punya tugas terhormat mengawal pusaka keraton. Karena sudah beratus tahun bermukim di lingkungan semua raja, maka tak heran andai semua urusan yang terkaitdengan raja dan penguasa dihormati oleh masyarakat, tergolong peliharaan.

Berdasarkan keterangan dari budayawan Solo, KRT Hardjonagoro alias Go Tik Swan, pemeliharaan kerbau ini pun dikarenakan keturunan semua raja dulunya juga tidak sedikit yang berasal dari petani,dan hidup dari hasil alam. Hanya saja, menyesuaikan dengan pertumbuhan zaman, semua raja kini tentu bukan lagi turun ke sawah, dengan tersebut pula semua kerbau ini dijadikan sebagai maskot kasultanan.

Bisa memberi pertanda bakal datangnya bencana ketika arak-arak berlangsung
Kyai, Nyai Slamet dan seluruh keturunannya mendapat tugas untuk mengawal tombak pusaka dan maskot saat upacara kirab tradisi keraton. Upacara ini seringkali dilaksanakan pada perayaan malam 1 suro, perayaan bulanan (2 kali sebulan) bertepatan dengan malam Jum’at pahing dan kliwon. Arak-arak upacara tidak melulu seputar keraton saja, tapi pun melewati jalan raya dan perumahan sekitar. Ketika tombak diarak pasti Kyai Slamet beserta keluarganya mesti ikut serta dalam kirab ini, andai tidak urusan tersebut dapat menjadi pertanda bakal datangnya bencana.


Kirab Malam 1 Suro
Pernah suatu saat malam arak-arak sudah dipersiapkan, Kyai Slamet enggan ikut serta, tentu urusan itu membuat arak-arak batal. Karena urusan tersebut, keraton ditimpa musibah yang menciptakan Sri Sunan PB XII mengalami kemalangan lalu lintas dalam perjalanan ke lokasi bermain bowling.

Dari kutu hingga kotoran dirasakan punya kesaktian
Di samping warna bulu yang lebih putih, tak terdapat yang istimewa dari kerbau ini, ia pun makan rumput laksana kerbau beda dan gemar bermain lumpur di sawah. Hanya menurut keterangan dari sang penjaga kandang, kerbau ini lebih berwibawa dan punya kesaktian dalam mengawal kehidupan masyarakata Surakarta, maka tak heran saat mereka dilepas berkeliaran begitu saja, tak bakal ada orang yang mau menculik kerbau ini.


Saat mereka berkeliaran di seputar kota Solo, masuk pasar dan merusak dagangan, penjaja tak bakal marah, mereka justeru akan merasa senang sebab kerbau itu akan memberi berkah andai besok-besok dagangannya bakal laris terjual. Begitupun semua petani, ketika berkubang di sawah dan menghancurkan padi, petani akan tidak mempedulikan Kyai Slamet tanpa mengusirnya. Saat kebetulan lewat di dekat keraton, kutu serta kotoran kerbau-pun bakal menjadi rebutan dengan dalil bahwa keduanya pun membawa tuah dan punya kesaktian.

Bukan melulu sapi di India saja ternyata ya yang dirasakan suci, family kerbau di Surakarta ini pun mendapat perlakuan sama, bahkan hingga mendapat julukan Kyai. Sebenarnya, menyayangi binatang ialah hal yang memang mesti dilaksanakan sebagai sesama makhluk Tuhan, tapi bila sudah memandang kotoran hingga kutunya punya keberkahan tersendiri, mungkin tersebut sudah lain urusannya.