Jenderal Jujur dan berjiwa besar ini adalah M Yusuf


Jenderal M Jusuf menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dari tahun 1978 hingga 1983. Di masa kepemimpinannya, kesejahteraan prajurit TNI benar-benar diperhatikan. Tak cuma itu, Jenderal Jusuf juga memodernisasi persenjataan TNI sehingga kembali disegani di Asia Tenggara.

Tak heran dia dicintai prajurit dan masyarakat. Hingga muncul desas-desus Jenderal Jusuf bernapsu untuk menggantikan Soeharto menjadi presiden Indonesia. Kabar inilah yang dipercayai Soeharto walau Jenderal Jusuf membantah punya ambisi tertentu. 

Bahkan saking kesalnya Jenderal Jusuf pada isu-isu itu sampai dia menggebrak meja dalam satu pertemuan dengan Presiden Soeharto dan para pejabat negara.

"Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa," kata Jenderal Jusuf keras.

Sepanjang sejarah, hanya Jenderal Jusuf yang berani gebrak meja di depan Presiden Soeharto.

Hubungan keduanya menjadi dingin. Pada bulan Januari 1983, Soeharto memberi tahu jika posisi Panglima akan diserahkan pada Letjen Benny Moerdani.

Sebagai prajurit, Jenderal M Jusuf menerimanya. Dia sudah tak kaget mendengar hal itu.

Pada bulan Februari, tiba-tiba Jenderal Jusuf kedatangan tamu seorang Mayor yang membawa surat rahasia. Perwira muda pasukan elite itu meminta bertemu langsung dengan Jenderal Jusuf. Intinya ada sejumlah perwira muda yang siap bergerak untuk Jenderal M Jusuf dan menyelamatkan negara.

Sang mayor juga meminta Jenderal M Jusuf hati-hati karena diawasi oleh semua orang di dekatnya. Dia juga menyebut rumah dan kantor Jenderal Jusuf telah disadap. 

"Jangan percaya siapa saja. Bapak sedang diamati. Jangan percaya Sespri, pengawal pribadi, pembantu rumah tangga," demikian isi surat tersebut.

Jenderal Jusuf segera meminta diadakan pertemuan dengan perwira tersebut. Dipilihnya tempat di Markas Pasukan yang terletak di Jakarta Timur. Tempat Jusuf yakin dia aman.

Hal ini dikisahkan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo dalam buku Jenderal Jusuf, Panglima Para Prajurit terbitan Kata Hasta Pustaka tahun 2006.

Dia mengendarai mobil dinasnya ke sana seorang diri. Tanpa sopir, pengawal atau ajudan. Sang Mayor diperintahkan mengikuti mobilnya dari belakang.

Di Ksatrian, atau markas tentara itu, sejumlah perwira muda sudah hadir. Mereka mengaku kecewa karena Jenderal Jusuf akan digantikan oleh Letjen Benny Moerdani.

Namun Jusuf menunjukkan wibawanya. Dia berbicara kepada para perwira muda itu dengan bijaksana. Jusuf meminta jangan ada yang melakukan tindakan perlawanan atau membangkang perintah atasan.

"Aku paham jiwa-jiwa mereka yang memprotes atau kecewa karena rupanya mereka juga mendengar rencana pergantian Menhankam/Pangab. Tapi sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes, memberontak atau membangkang perintah. Semangat itu harus dipelihara baik-baik dari awal, hingga nanti," kata Jenderal Jusuf tegas.

Selama tiga jam Jenderal Jusuf berbicara dengan para perwira muda itu. Dia juga sempat mengunjungi beberapa keluarga prajurit seperti kebiasaannya jika masuk ke markas militer.

Dalam waktu tiga jam itu pula Jenderal Jusuf bisa memadamkan sebuah rencana atau niat untuk mengambil alih kepemimpinan negara akibat kekecewaan sejumlah orang atas pergantian Panglima TNI.

Menurut Jusuf, surat tersebut tak bisa dibiarkan. Walau sejumlah perwira pasukan elite belum tentu bisa mengambil alih kekuasaan dengan mudah, tetapi hal seperti itu jelas tak boleh terjadi di tubuh TNI.

"Sejarah kita akan mencatat selama berabad-abad aib itu bila sampai terjadi," kata dia.

Yang melegakan Jenderal Jusuf adalah sikap para perwira itu yang mau berjanji dan bersumpah untuk tetap setia kepada pimpinan mereka serta tidak akan melakukan tindakan apa pun.

Selepas peristiwa itu Jenderal Jusuf kembali ke kediamannya di Jl Teuku Umar. Lagi-lagi menyetir seorang diri. Sebuah upaya untuk kudeta berhasil digagalkan atas kebesaran jiwanya